BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Maloklusi adalah
bentuk hubungan rahang atas dan rahang bawah yang menyimpang dari bentuk
standar yang diterima sebagai bentuk yang normal. Maloklusi dapat disebabkan
karena tidak adanya keseimbangan dento-fasial, yang kemungkinan disebabkan oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : keturunan, lingkungan, pertumbuhan
dan perkembangan, konstitusional, fungsional, dan keadaan patologis.
Maloklusi yang
disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan disebabkan karena adanya defek
pada pertumbuhan dan perkembangan orokraniofacial. Pertumbuhan dan perkembangan
orokraniofacial dapat dibagi menjadi fase pre-natal dan fase post-natal, dimana
fase pre-natal terjadi intra uterus dan fase post-natal terjadi ketika anak
telah lahir.
1.2
Batasan Topik
A.
Oklusi
1.
Definisi Oklusi
2.
Macam-Macam Oklusi
3.
Pertumbuhan dan Perkembangan Oklusi
a.
Gigi Sulung
b.
Gigi Campuran
c.
Gigi Permanen
4.
Kunci Oklusi Normal Andrew
B.
Maloklusi
1.
Definisi Maloklusi
2.
Etiologi Maloklusi
3.
Klasifikasi Maloklusi
C.
Orokraniofacial
1.
Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Orokraniofacial Pasca
Natal
2.
Macam-Macam Bentuk Profil Wajah
3.
Cara Mengukur Profil Wajah
D.
Radiologi
1.
Macam-Macam Radiologi
a.
Intraoral
b.
Sefalometri
·
Definisi Sefalometri
·
Macam-Macam Sefalometri
·
Kegunaan Sefalometri
·
Teknik Pemeriksaan Sefalometri
·
Landmark Sefalometri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Oklusi
2.1.1
Definisi Oklusi
Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi
geligi pada maksila dan mandibula, yang
terjadi selama pergerakan mandibula dan terakhir
dengan kontak penuh dari gigi geligi pada kedua rahang. Oklusi terjadi karena
adanya interaksi antara dental sistem1.
2.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan pada Gigi Sulung, Campuran dan Permanen.
Pertumbuhan dan Perkembangan gigi –geligi susu
Seluruh gigi geligi susu akan
lengkap erupsi pada anak berumur lebih kurang 2,5 tahun. Pada periode ini
lengkung gigi pada umumnya berbentuk oval dengan gigitan dalam ( Deep bite )
pada overbite dan overjet dan dijumpai adanya “ generalized interdental spacing
( celah –celah diantara gigi- geligi ). Hal ini terjadi karena adanya
pertumbuhan tulang rahang kearah transversal untuk mempersiapkan tempat gigi
–gigi permanen yang kan tumbuh celah yang terdapat dimenssial cainus atas dan
disebelah distal caninus bawah disebut “primate space “ . Primate space ini
diperlukan pada “ early mesial shift “.
Adanya celah –celah ini memberi
kemungkinan gigi-gigi permanen yang akan erupsi mempunyai cukup tempat,
sebaiknya bila tidak ada memberi indikasi kemungkinan terjadi gigi berjejal (
crowding ).
Hubungan molar kedua dalam arah
sagital dapat :
1.
Berakhir
pada satu garis terminal ( flush terminal plane ), yang merupakan garis
vertikal disebelah distal molar kedua.
2.
Molar
kedua mandibula letaknya lebih kedistal dari molar kedua maksila (distal step ).
3. Molar kedua mandibula lebih kearah
mesial molar kedua maksila ( mesial step )
Perkembangan Oklusi gigi- geligi
permanen. Foster ( 1982 ) membagi dalam tiga tahap perkembangan :
1. Tahap erupsi molar pertama dan incisivi
permanen.
Terjadi penggantian gigi inncisivi
dan penambahan molar pertama permanen . Pada umur 6,5 tahun ketika incisivus
sentral atas erupsi akan terlihat space pada garis median prosesus alveolaris
sehingga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis sebagai suatu keadaan frenulum
yang abnormal, keadaan ini disebut dengan istilah “ Ugly duckling stage “.
Kadang –kadang incisiv permanen
terlihat crowding pada saat erupsi dan incisive lateral berhimpitan ( overlap )
dengan gigi caninus susu. Keadaan ini bisa diatasi bila terdapat leeway space.
Leeway space adalah perbedaan ruangan antara lebar mesiodistal gigi caninus,
molar pertama dan kedua susu dengan caninus premolar pertama dan kedua
permanen.
Hubungan distal molar kedua susu
atas dan bawah mempengaruhi hubungan molar pertama permanen, molar pertama
permanen penting peranannya pada tinggi vertikal rahang selama periode
penggantian gigi susu menjadi gigi permanen . Pada umur 8 tahun incisivi dan
molar pertama permanen telah erupsi. Apabila incivisi atas lebih dulu erupsi
dari yang bawah, dapat menyebabkan terjadinya gigitan dalam ( deep overbite ).
Dengan adanya pertumbuhan gigitan dalam yang terjadi dapat terkoreksi dengan
occlusal adjustment yang terjadi kemudian.
2. Tahap erupsi
caninus, premolar dan molar kedua.
Pada tahap ini bila molar susu bawah
sudah diganti oleh premolar permanen, sedangkan molar susu atas belum, maka
akan terdapat penambahan besar overbite dan bila sebaiknya maka kontak gigi
terlihat edge.
3. Tahap erupsi molar ketiga.
Penyesuaian oklusi ( occusal
adjustment )
Menurut Salzmann ( 1966 ) terdapat 3
mekanisme yang berbeda pada penyesuaian oklusi normal gigi susu keperiode gigi bercampur sampai
tercapai stabilisasi pada periode gigi permanen :
- Jika bidang vertikal dari
permukaan distal molar kedua susu atas terletak distal molar kedua susu
bawah maka molar prtama permanen akan menempati sesuai dengan oklusi pada
gigi susu.
- Jika terdapat primate space dan
bidang vertikal molar kedua susu segaris, maka terjadi oklusi normal pada
molar pertama permanen, karena adanya pergeseran molar susu kemesial
sehingga ruangan tersebut tertutup.
- Jika bidang vertikal sama dan
molar pertama permanen hubungannya cusp, maka oklusi normal terjadi karena
adanya pergeseran kemesial yang terjadi kemudian setelah molar kedua susu
tanggal.
Periode diantara periode gigi susu
dan gigi –gigi permanen disebut periode gigi-gigi bercampur. Menurut Moyers (
1974 ) adalah merupakan periode dimana gigi susu dan permanen berada
bersama-sama didalam mulut .
Gigi-
geligi tetap yang adan dibagi atas dua kelompok :
·
Successional
Teeth, gigi
permanen yang menggantikan gigi susu.
·
Accesssional
Teeth, gigi
tetap yang erupsi diposterior dari gigi susu.
Dua aspek penting pada periode gigi – geligi bercampur
adalah :
·
Penggunaan
dental arch perimeter.
·
Penyesuaian
perubahan oklusi yang terjadi selama pergantian gigi.2,3
2.1.3 Kunci Oklusi Normal Andrew
Oklusi adalah hubungan kontak gigi
maksila dan mandibula ketika dalam posisi tertutup penuh. Ketika oklusi berada dalam posisi
sentrik yakni posisi ketika rahang tertutup dan otot-otot mengunyah
berkontraksi, tiap gii disatu lengkung rahang beroklusi dengan dua gigi
dirahang yang berlawanan kecuali untuk insisivus sentral rahang atas dan M3
rahang atas. Ketika gigi hilang dalam waktu yang lama, biasanya gigi
tetangganya akan berusaha mengisi ruang edentulous. Dengan demikian kehilangan
salah satu gigi mengganggu hubungan gigi berkontak dengan lengkung rahang yang
berlawanan, hal ini bisa menyebabkan perubahan oklusi seluruh gigi.
Ketika gigi beroklusi normal disentrik
oklusi, lengkung gigi maksila secara natural overhang ke lengkung gigi
mandibula difasial yang disebut Overjet ( artinya overlap secara horizontal ).
Apabila insisivus rahang atas overlap secara vertikal terhadap insisivus rahang
bawah dikatakan Overbite.
Pada gigi desidui oklusi yang normal
berupa adanya flush terminal plane, space anterior, primate space, hubungan
oklusi kelas I ( gigi molar dan caninus ), rahang oval. Gigi desidui mulai
erupsi ketika berumur 6 bulan dan akan lengkap ketika berumur 3 tahun. Gigi
desidui mempunyai alignment dan oklusi yang normal segera setelah berumur 2
tahun, dengan akar-akar gigi terbentuk seluruhnya ketika berumur 3 tahun.
Oklusi normal pada gigi-gigi susu ketika
berumur 3 tahun adalah :4
1. Permukaan
mesial pada insisivus sentral atas dan bawah berada pada satu garis median.
2. Gigi
insisivus sentral rahang atas beroklusi dengan insisivus sentral rahang bawah
dan sepertiga mesial dari insisivus lateral rahang bawah.
3. Gigi
anterior bawah berkontak dengan gigi anterior atas pada bagian palatal diatas
perbatasan edge insisal.
4. Insisivus
lateral atas beroklusi dengan bagian dua per tiga distal dari insisivus lateral
bawah, dan slope mesial dari gigi caninus bawah.
5. Gigi
caninus atas beroklusi dengan slope distal gigi caninus bawah dan bagian sepertiga
mesial gigi molar pertama bawah.
6. Gigi
molar pertama atas beroklusi dengan duapertiga distal gigi molar pertama bawah
dan bagian mesial gigi molar kedua bawah.
7. Bagian
distal gigi molar kedua atas beroklusi dengan permukaan distal molar kedua
bawah.
Sedangkan
oklusi normal pada gigi masa bercampur adalah leeway space (ketika gigi caninus
dan molar diganti dengan gigi caninus dan premolar permanen), hubungan oklusi
kelas I ( gigi caninus ketika molar pertama erupsi ), dan ketika erupsi gigi
insisivus sentral permanen.
2.2 Maloklusi
2.2.1
Definisi Maloklusi
Maloklusi dihubungkan
dengan kurang idealnya bentuk gigi geligi secara keseluruhan dalam keadaan
oklusi sentrik.5
2.2.2
Etiologi Maloklusi
Menurut
Moyer‘s classification :5
1.
Heredity
-
Neuro muscular system.
-
Tulang.
-
Gigi.
-
Soft parts.
2. Kerusakan
saat perkembangan.
3. Trauma.
-
Prenatal trauma dan luka lahir.
-
Paskanatal trauma.
4. Physical
Agents.
-
Premahature extraction dari gigi sulung.
-
Nature of food.
5. Habbits.
-
Menghisap ibu jari dan jari.
-
Mendorong –dorong lidah.
-
Lip sucking dan menggit bibir.
-
Posture.
-
Menggit kuku.
-
Kebiasaan lain.
6. Penyakit.
-
Penyakit disease.
-
Kelainan endokrin.
-
Penyakit lokal.
-
Penyakit nasoparyneal dan terggangu
fungsi respiratory.
-
Penyakit gingiva dan periodontal.
-
Tumor.
-
Karies.
Menurut
White and Gardines classification :5
1. Abnormalities
dental.
-
Anterior –posterior malrelation ship.
-
Vertical malrelationship.
-
Lateral malrelationship.
-
Perubahan ukuran antara gigi &dasar
tulang.
-
Abnormal tongenital.
2. Abnormal
Pre eruption.
-
Abnormal posisi pada saat perkembangan
gigi.
-
Missing teeth.
-
Supernumeraray teeth dan abnormal bentuk
gigi.
-
Retensi yang panjang dari gigi desidui.
-
Pembesaran frenum labial.
-
Traumatic injury.
3. Post
eruption abnormalities.
-
Muscular.
-
Kuatnya muscle (otot).
-
Posisi istirahat dari musculature.
-
Kebiassan menghisap.
-
Abnormal pada jalan akhir.
-
Hilangnya prematur dari gigi desidui.
-
Ekstraksi dari gigi permanen.
Graber’s
classification :5
Faktor
general
1.
Heredity.
2.
Congenital.
3.
Lingkungan.
- Prenatal.
- Postnatal.
4.
Predisposing metabolic climate and
disease.
- Endokrin
imbalance.
- Metabolic
disturbance.
- Infection
disease.
5.
Dietary problem.
6.
Abnormal pressure dan functional aberration.
- Abnormal
sucking.
- Thumb
and finger sucking.
- Tongue
thrust& tongue sucking.
- Lip
dan nail biting
- Abnormal
swallowing habits.
- Speech
defect.
- Respiratory
abnormalities.
- Tonsil
and adenoids.
- Psychogenic
tics dan bruxism.
- Posture.
-
Trauma dan accidents.
Faktor
Lokal
1. Anomali
jumlah.
-
Supernumerary teeth.
-
Missing teeth.
2.
Anomali ukuran gigi.
3.
Anomali bentuk.
4.
Abnormal frenum labial :mucosal barriers.
5.
Hilangnya premature gigi desidui.
6.
Perpanjangan retensi gigi sulung.
7.
Tertunda erupsi gigi permanen.
8.
Abnormal jalan erupsi.
9.
Ankylosis.
10. Karies
gigi.
11. Restorasi
yang tidak benar.
2.2.3
Klasifikasi Maloklusi
1.
Sistem
Klasifikasi Angle.
Edward Angle memperkenalkan sistem klasifikasi
maloklusi ini pada tahun 1899. Klasifikasi Angle ini masih digunakan
dikarenakan kemudahan dalam penggunaannya.
Menurut Angle, kunci oklusi terletak pada molar
permanen pertama maksila. Berdasarkan hubungan antara molar permanen pertama
maksila dan mandibula, Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga klas,
yaitu :
a.
Klas I
Klas I maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan
dengan adanya hubungan normal antar-lengkung rahang. Cusp mesio-buccal dari
molar permanen pertama maksila beroklusi pada groove buccal dari molar permanen
pertama mandibula. Pasien dapat menunjukkan ketidakteraturan pada giginya,
seperti crowding, spacing, rotasi, dan sebagainya. Maloklusi lain yang sering
dikategorikan ke dalam Klas I adalah bimaxilary protusion dimana pasien
menunjukkan hubungan molar Klas I yang normal namun gigi-geligi baik pada
rahang atas maupun rahang bawah terletak lebih ke depan terhadap profil muka.
b.
Klas II
Klas II maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan
dengan hubungan molar dimana cusp disto-buccal dari molar permanen pertama
maksila beroklusi pada groove buccal molar permanen pertama mandibula.
Klas II, divisi 1.
Klas II divisi 1 dikarakteristikkan dengan
proklinasi insisiv maksila dengan hasil meningkatnya overjet. Overbite yang
dalam dapat terjadi pada region anterior. Tampilan karakteristik dari maloklusi
ini adalah adanya aktivitas otot yang abnormal.
Klas II, divisi 2.
Seperti pada maloklusi divisi 1, divisi 2 juga
menunjukkan hubungan molar Klas II. Tampilan klasik dari maloklusi ini adalah
adanya insisiv sentral maksila yang berinklinasi ke lingual sehingga insisiv
lateral yang lebih ke labial daripada insisiv sentral. Pasien menunjukkan
overbite yang dalam pada anterior.
c.
Klas III
Maloklusi ini menunjukkan hubungan molar Klas III
dengan cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada
interdental antara molar pertama dan molar kedua mandibula.
True Class III
Maloklusi ini merupakan maloklusi skeletal Klas III
yang dikarenakan genetic yang dapat disebabkan karena :
·
Mandibula yang
sangat besar.
·
Mandibula yang
terletak lebih ke depan.
·
Maksila yang
lebih kecil daripada normal.
·
Maksila yang
retroposisi.
·
Kombinasi
penyebab diatas.
Pseudo Class III
Tipe maloklusi ini dihasilkan dengan pergerakan ke
depan dari mandibula ketika rahang menutup, karenya maloklusi ini juga disebut
dengan maloklusi ‘habitual’ Klas III. Beberapa penyebab terjadinya maloklusi
Klas III adalah :
·
Adanya premature
kontak yang menyebabkan mandibula bergerak ke depan.
·
Ketika terjadi
kehilangan gigi desidui posterior dini, anak cenderung menggerakkan mandibula
ke depan untuk mendapatkan kontak pada region anterior.
Klas III, subdivisi
Merupakan kondisi yang dikarakteristikkan dengan
hubungan molar Klas III pada satu sisi dan hubungan molar Klas I di sisi lain.
2.
Modifikasi Dewey
dari Klasifikasi Angle.
Dewey memperkenalkan modifikasi dari klasifikasi
maloklusi Angle. Dewey membagi Klas I Angle ke dalam lima tipe, dan Klas III
Angle ke dalam 3 tipe.
a.
Modifikasi Dewey
Klas I.
Tipe 1 :
maloklusi Klas I dengan gigi anterior yang crowded.
Tipe 2 :
maloklusi Klas I dengan insisiv maksila yang protrusif.
Tipe 3 :
maloklusi Klas I dengan anterior crossbite.
Tipe 4 :
maloklusi Klas I dengan posterior crossbite.
Tipe 5 :
maloklusi Klas I dengan molar permanen telah bergerak ke mesial.
b.
Modifikasi Dewey
Klas III.
Tipe 1
: maloklusi Klas III, dengan rahang atas dan bawah yang jika dilihat secara
terpisah terlihat normal. Namun, ketika rahang beroklusi pasien menunjukkan
insisiv yang edge to edge, yang kemudian menyebabkan mandibula bergerak ke
depan.
Tipe 2 :
maloklusi Klas III, dengan insisiv mandibula crowded dan memiliki lingual
relation terhadap insisiv maksila.
Tipe 3 :
maloklusi Klas III, dengan insisiv maksila crowded dan crossbite dengan gigi
anterior mandibula.
3.
Modifikasi
Lischer dari Klasifikasi Angle.
Lischer memberikan istilah neutrocclusion,
distocclusion, dan mesiocclusion pada Klas I, Klas II, dan Klas III Angle.
Sebagai tambahan, Lischer juga memberikan beberapa istilah lain, yaitu :
Neutrocclusion : sama dengan maloklusi Klas I Angle.
Distocclusion : sama dengan maloklusi Klas II Angle.
Mesiocclusion : sama dengan maloklusi Klas III Angle.
Buccocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih
ke buccal.
Linguocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih
ke lingual.
Supraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi
diatas batas normal.
Infraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi
dibawah batas normal.
Mesioversion : lebih ke mesial daripada posisi normal.
Distoversion : lebih ke distal daripada posisi normal.
Transversion : transposisi dari dua gigi.
Axiversion : inklinasi aksial yang abnormal dari sebuah gigi.
Torsiversion : rotasi gigi pada sumbu panjang.
4.
Klasifikasi Bennet.
Norman Bennet mengklasifikasikan maloklusi
berdasarkan etiologinya.
Klas I : posisi abnormal satu gigi atau lebih dikarenakan
faktor lokal.
Klas II :
formasi abnormal baik satu maupun kedua rahang dikarenakan defek perkembangan
pada tulang.
Klas III :
hubungan abnormal antara lengkung rahang atas dan bawah, dan antar kedua rahang
dengan kontur facial dan berhubungan dengan formasi abnorla dari kedua rahang.6
2.3
Orokraniofacial
2.3.1 Proses Pertumbuhan dan Perkembangan
Orokraniofacial Pasca Natal
Pertumbuhan
Maksila
Pertumbuhan maksila dipengaruhi oleh
pertumbuhan otak, pertumbuhan tulang cranial dan nasalseptal guidance, yang
memberikan pengaruh signifikan terhadap pergerakan maju mundur maksila dari
lahir hingga umur 7 tahun.
Setelah umur 7 tahun hingga dewasa
pengaruh-pengaruh tersebut berkurang secara drastis seiring pertumbuhan sutural
dan pertumbuhan permukaan intramembranosa mengambil alih.
Pertumbuhan
Mandibula
Pertumbuhan mandibula terjadi oleh
proses remodeling tulang. Pertumbuhan panjang ukuran mandibula terjadi karena
adanya bone deposition di permukaan posterior (ramus) dengan pengimbangan
apsorption pada permukaan anterior. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan mandibula
memanjang ke belakang.
Pertumbuhan lebar mandibula terjadi
karena adanya bone deposition pada permukaan luar mandibula dan apsorbsi pada
permukaan dalam. Walaupun mandibula merupakan single bone, namun mandibula
merupakan sebuah skeletal unit yang masing-masing berhubungan dengan jaringan2
haus disekitar yang disebut functional matrics. Functional matrics merupakan
penentu utama pertumbuhan skeletal unit
Bagian kanan dan kiri mandibula pada
bayi yang baru lahir masih terpisah kemudian menyatu pada midline mental
symphisis selama tahun tahun pertama. Lokasi utama pertumbuhan post natal mandibula adalah endochondral
apposition pada tulang rawan condylar, dan intramembraneous apposition pada aspek
posterior
Pada saat lahir, mandibula condylers
tumbuh lebih secara horizontal sehingga tumbuh memanjang, sedangkan pada anak2
pertumbuhan vertikal sehingga pertumbuhan condylar meninggi. Pertumbuhan
mandibula berlangsung hingga akhir masa remaja sekitar umur 20 tahun.5
2.3.2
Macam-Macam Bentuk Profil Wajah
Menurut Graber
(1972) dikenal tiga tipe profil muka yaitu :6
- Cembung (convex)
: Dua garis membentuk sudut cekung
terhadap jaringan. Jenis profil ini terjadi sebagai akbat maksila prognati atau
mandibula retrognati seperti yang terlihat dalam maloklusi kelas II ,divisi I.
- Lurus (straight ) : Dua garis membentuk garis lurus.
- Cekung (concave)
: Dua garis membentuk sudut cembung terhadap jaringan. Tipe ini dikaitkan
dengan mandibula prognati atau maksila retrognati seperti dalam kelas III
maloklusi.
Berdasarkan
bentuknya, tipe wajah pada manusia dibagi menjadi tiga, yaitu:7
a. Dolichofacial
(leptoprosopic)
Bentuk kepala dolichocephalic yang panjang dan oval
membuat pertumbuhan wajah menjadi sempit, panjang, dan protrusif. Tipe wajah
ini disebut dengan leptoprosopic.
Pada leptoprosopic, tulang hidung
cenderung tinggi dan hidung terlihat lebih protrusif. Karena sangat protrusif,
kadang-kadang hidung menjadi bengkok bahkan turun. Sudut lekukan dan turunnya
hidung akan meningkat bila panjang hidung meningkat. Jadi, konveksivitas hidung
lebih tinggi pada orang yang memiliki hidung panjang. Oleh karena bagian hidung
dari tipe wajah leptoprosopic lebih protusif, glabela dan lingkaran
tulang orbital bagian atas menjadi lebih sangat menonjol sedangkan tulang pipi
menjadi terlihat kurang menonjol. Selain itu mata juga terlihat cekung.
Tipe
Wajah Leptocrospic
Tipe wajah juga mempengaruhi bentuk
lengkung rahang. Bentuk wajah yang sempit dan panjang akan menghasilkan
lengkung maksila dan palatum yang panjang, sempit, dan dalam. Selain itu, mandibula
dan bibir bawah cenderung menjadi retrusif sehingga profil wajah menjadi
cembung. Tipe wajah ini sering dikaitkan dengan maloklusi kelas I.
b. Brachifacial
(euryprosopic)
Bentuk kepala brachicephalic yang bulat dan luas
membuat pertumbuhan wajah menjadi lebih lebar dan agak protrusif. Tipe wajah
ini disebut dengan euryprosopic.
Pada euryprosopic, hidung
cenderung pendek dan ujung hidung sering naik sehingga lubang hidung sering
terlihat. Tulang pipi yang lebih lebar, datar, dan kurang protusif membuat
konfigurasi tulang pipi terlihat jelas berbentuk persegi. Bola mata juga lebih
besar dan menonjol karena kavitas orbital yang dangkal. Karakter wajah seperti
ini membuat tipe euryprosopic terlihat lebih menonjol dari pada leptoprosopic.
Tipe
wajah euryprosopic
Tipe wajah euryprosopic memiliki
lengkung maksila dan palatum yang luas dan pendek. Selain itu, mandibula dan
dagu cenderung lebih protrusif sehingga profil wajah menjadi lurus atau bahkan
cekung. Tipe wajah ini sering dikaitkan dengan maloklusi kelas II divisi I.
c. Mesofacial (Mesoprosopic)
Bentuk kepala mesocephalic
merupakan bentuk kepala yang oval. Tipe wajah yang dihasilkan berukuran
sedang sehingga bentuk hidung, dahi, tulang pipi, bola mata, dan lengkung
rahang juga berukuran menengah. Tipe wajah ini sering dikaitkan dengan kelas II
divisi II maloklusi.
Tipe wajah mesoprosopic
2.3.3 Cara Mengukur Profil Wajah
Untuk menganalisis tipe wajah, ada beberapa titik yang harus
ditentukan terlebih dahulu. Titik-titik
tersebut adalah :8
a. Na (Soft tissue nasion) atau jaringan lunak hidung,
yaitu titik tengah dari pangkal hidung pada sutura nasofrontal, yang merupakan
aspek paling cekung.
b. Zy (zygomaticum), yaitu titik paling pinggir pada
setiap lengkung zygomaticum.
c. SN (subnasal), yaitu titik paling bawah dari hidung.
d. Me (soft tissue menton), yaitu titik paling bawah
dari dagu.
e. Sto (stomion), yaitu titik pertemuan bibir atas dan
bibir bawah dengan garis tengah wajah.
f. B (soft tissue B point), yaitu
bagian paling cekung dari jaringan lunak dagu pada garis tengah.
Titik-titik yang diperlukan dalam
pengukuran tipe waja
Titik-titik
yang diperlukan dalam pengukuran tipe wajah
Morfologi bentuk wajah
pertama sekali diperkenalkan oleh Martin dan Saller pada tahun 1957 dengan cara
mengukur facial index.
Nilai
indeks :
• Hypereuryprosopic :
X - 78,9
• Euryprosopic :
79,0 - 83,0
• Mesoprosopic :
84,0 - 87,9
• Leptoprosopic :
88,0 - 92,9
•
Hyperleptoprosopic : 93,0 - X
Sekarang pengukuran tipe wajah dapat dilakukan dengan
menggunakan foto frontal dan foto lateral. Foto frontal merupakan foto wajah
pasien yang diambil dari arah frontal, sedangkan foto lateral merupakan foto
wajah pasien yang diambil dari arah lateral.
a. Pengukuran Tipe Wajah dengan Menggunakan Foto
Frontal
Pengukuran tipe wajah dengan menggunakan foto frontal dapat
dilakukan dengan empat rumus, yaitu rumus facial index, upper facial index,
lower facial index, dan chin index.
Ø
Facial Index
Facial index merupakan
penentuan tipe wajah dengan mengukur tinggi wajah yang diukur dari nasion (hidung)
ke menton (dagu) kemudian membaginya dengan jarak zygomaticum kanan-kiri.
Setelah itu hasilnya dikali dengan 100. Garis-garis yang akan diukur dapat
dilihat pada gambar.
Facial Index =
Hasil perhitungan facial index disesuaikan dengan ketentuan
berikut:
• tipe wajah euryprosopic
♀ = 80 ± 4
♂ = 84 ± 4
• tipe wajah mesoprosopic
♀ = 86 ± 4
♂ = 88 ± 4
• tipe wajah leptoprosopic
♀ = 90 ± 4
♂ = 94 ± 4
Pengukuran
Facial Index
Ø Upper Facial Index
Upper facial index merupakan penentuan tipe wajah dengan mengukur tinggi wajah bagian
atas yang diukur dari nasion ke stomion kemudian membaginya
dengan jarak zygomaticum kanan-kiri. Setelah itu hasilnya dikali dengan
100. Garis-garis yang akan diukur dapat dilihat pada gambar.
Upper Facial Index =
Hasil perhitungan upper facial
index, disesuaikan dengan ketentuan berikut:
· tipe wajah euryprosopic
♀ = 49 ± 3
♂ = 50 ± 3
· tipe wajah mesoprosopic
♀ = 53 ± 3
♂ = 54 ± 3
· tipe wajah leptoprosopic
♀ = 57 ± 3
♂ = 58 ± 3
Pengukuran
Upper Facial Index
Ø Lower Facial Index
Lower facial index merupakan penentuan tipe
wajah dengan mengukur tinggi wajah bagian bawah yang diukur dari subnasal ke menton
kemudian membaginya dengan jarak zygomaticum kanan-kiri. Setelah itu
hasilnya dikali dengan 100. Garis-garis yang akan diukur dapat dilihat pada
gambar.
Lower
Facial Index = panjang wajah bagian bawah (Sn-Me) /lebar wajah (Zy-Zy) x 100
Hasil perhitungan
lower facial index, disesuaikan dengan ketentuan berikut:
•
tipe wajah euryprosopic
♀ = 47 ± 4
♂ = 49 ± 4
•
tipe wajah mesoprosopic
♀
= 52 ± 4
♂
= 54 ± 4
•
tipe wajah leptoprosopic
♀ = 57 ± 4
♂ = 59 ± 4
Pengukuran
Lower Facial Index
Ø Chin Index
Chin index merupakan penentuan tipe wajah dengan mengukur tinggi dagu
kemudian membaginya dengan jarak zygomaticum kanan-kiri. Setelah itu
hasilnya dikali dengan 100. Garis-garis yang akan diukur dapat dilihat pada gambar.
Chin Index =
Tinggi dagu (B’-Me) / lebar wajah (Zy-Zy) x 100
Hasil perhitungan
chin index, disesuaikan dengan ketentuan berikut:
• tipe wajah euryprosopic
♀ = 19 ± 2
♂ = 19 ± 2
•
tipe wajah mesoprosopic
♀ = 22 ± 2
♂ = 22 ± 2
•
tipe wajah leptoprosopic
♀ = 25 ± 2
♂ = 25 ± 2
Pengukuran
Chin Index
b. Pengukuran Tipe Wajah dengan Menggunakan Foto
Lateral
Pengukuran tipe wajah dengan menggunakan foto lateral dapat
dilakukan dengan rumus chin-face height index. Chin-face height index merupakan
penentuan tipe wajah dengan mengukur tinggi dagu kemudian membaginya dengan
tinggi wajah. Setelah itu hasilnya dikali dengan 100. Garis-garis yang akan
diukur dapat dilihat pada gambar.
Chin-face Height Index = tinggi dagu (B’-Me) / tinggi
wajah (Na-Me) x 100
Hasil perhitungan chin-face height index, disesuaikan
dengan ketentuan berikut:
• tipe wajah euryprosopic
♀ = 23.5 ± 2
♂ = 22 ± 2
• tipe wajah mesoprosopic
♀ = 25,5 ± 2
♂ = 25 ± 2
• tipe wajah leptoprosopic
♀ = 27,5 ± 2
♂ = 27 ± 2
Pengukuran
Chin-face height index
Walaupun sefalogram
telah cukup memberikan data mengenai tulang kraniofasial, penentuan tipe wajah
tetap penting walaupun tidak memberikan keterangan secara lengkap. Dengan
menganalisis tipe wajah maka hubungan variasi bagian-bagian tulang wajah akan
terlihat sehingga para klinisi lebih mudah untuk mengidentifikasi malrelasi.
2.4 Radiologi
Radiologi adalah cabang ilmu kedokteran
yang menggunakan energy pengion dan bentuk energy lainnya
(non pengion) dalam bidang diagnostik, imajing dan terapi.9
2.4.1 Intraoral
Teknik radiografi intra oral adalah pemeriksaan gigi dan jaringan sekitar secarara diografi dan filmnya ditempatkan di dalam mulut pasien.Untuk mendapatkan gambaran lengkap rongga mulut
yang terdiri dari 32 gigi diperlukan kurang lebih 14 sampai 19
foto. Ada tiga pemeriksaan radiografi
intra oral yaitu: pemeriksaan periapikal,
interproksimal, dan oklusal.
Teknik Rontgen Periapikal
Teknik ini digunakan
untuk melihat keseluruhan mahkota serta akar gigi dan tulang pendukungnya. Ada
dua teknik pemotretan yang digunakan untuk memperoleh foto periapikal yaitu teknik
parallel dan bisektris, yang sering digunakan di RSGM adalah teknik bisektris.
Teknik Bite Wing
Teknik ini digunakan untuk melihat mahkota gigi rahang atas dan rahang bawah daerah anterior dan posterior sehingga dapat digunakan untuk melihat permukan gigi yang berdekatan dan puncak tulang
alveolar.Teknik pemotretannya yaitu pasien dapat menggigit sayap dari
film untuk stabilisasi film didalam mulut.
Teknik Rontgen Oklusal
Teknik ini digunakan untuk melihat
area yang luas baik pada rahang atas maupun rahang bawah dalam satu film.Film yang digunakan adalah fillm oklusal.Teknik pemotretannya yaitu pasien diinstruksikan untuk mengoklusikan atau menggigit bagian dari
film tersebut.10
2.4.2 Sefalometri
A. Definisi
Sefalometri
Sefalometri
adalah analisis dan pengukuran yang dibuat pada cephalogram.
B. Macam
sefalometri
Macam-macam
sefalometri :
· Lateral
yaitu menyediakan tampilan lateral.
· Frontal
yaitu menyediakan tampilan antero-posterior.
C.
Kegunaan Sefalometri
·
Membantu menegakkan diagnosis → dapat
mempelajari struktur skeletal, dental, dan jaringan lunak dari regio
kraniofasial.
·
Membantu klasifikasi abnormalitas
skeletal dan dental, dan membantu menentukan tipe fasial dari pasien.
·
Membantu menentukan rencana perawatan.
·
Membantu evaluasi hasil dari perawatan.
·
Membantu memprediksi perubahan yang
berhubungan dengan pertumbuhan untuk tindakan perawatan bedah.
·
Dapat menjadi alat bantu dalam
penelitian yang berhubungan dengan regio kraniofasial.
D. Teknik Pemeriksaan Sefalometri
Standarisasi membutuhkan alat headholder
(chepahalostat) dan tube x-ray yang diletakkan 60 inch dari midsagital plane
subjek dan jarak dari midsagital plane pasien ke film ± 7,5 inchi.
Pasien diletakkan dalam cephalostat,
artinya bagian lateral disesuaikan dengan telinga pasien dan secara vertikal
disesuaikan dengan nasal. Bagian nasalnya berperan saat operator menggerakkan
kepala pasian supaya Frankfort Horizontal Planenya paralel dengan lantai.
a.
Lateral Head Film
Pasien
diposisikan supaya bagian kiri pasien 8-10 inchi dari film, supaya membuat
distorsi semakin kecil. Film harus diletakkan sedekat mungkin dengan pasien
untuk meminimalisir efek pembesaran, memperbagus resolusi, dan memenuhi
standarisasi teknik.
b.
Frontal (Postero-antero)
Pasien
dihadapkan dengan film. Setelah kepala pasien diposisikan sehingga sinar x-ray
melewati kepala ke tengah, film digerakkan hingga menyentuh hidung pasien.
Karena radiasi dibutuhkan lebih banyak untuk mendapatkan gambaran ini, maka
harus lebih banyak radiasinya dibandingkan yang lateral.
E. Titik Landmark
Titik
Referensi dalam sefalometri (Landmark).11
·
Titik jaringan keras
No.
|
Landmak
|
Pengertian
|
1
|
Sella turcica
(S/sella)
|
Titik tengah
dari fossa hipofiseal. Merupakan area ovoid dari tulang spenoid yang
mengandung kelenjar pituitari
|
2
|
Nasion (N)
|
Sambungan
eksternal dari sutura frontonasal di bidang median. Apabila sutura tidak
terlihat, titik berada di cekungan terdalam os nasal dan os frontal.
|
3
|
Orbitale (O)
|
Titik paling
inferior dari batas ekternal orbita.
|
4
|
Condylion (Cd)
|
Titik paling
superior dari kepala artikular kondilus
|
5
|
Anterior nasal
spine (ANS)
|
Proyeksi
paling anterior pada maksila di bidang median
|
6
|
Titik A
(Subspinale/A)
|
Titik terdalam
kurvatur anterior maksila antara ANS dan alveolar crest
|
7
|
Titik B
(submentale/B)
|
Titik paling
posterior pada kurva terluar prosesus alveolaris mandibula antara alveolar
crest dan dagu
|
8
|
Pogonion (Pg)
|
Titik paling
anterior pada simfisis mandibula di mid sagital
|
9
|
Menton (M)
|
Titik paling
inferior dari simfisis mandibula
|
10
|
Gnation (Gn)
|
Titik yang
dibentuk dari perpotongan bidang fasial (N-Pg) dan bidang mandibula (Go-Me)
|
11
|
Gonion (Go)
|
Titik yang
dibentuk dari perpotongan margin posterior ramus mandibula dan bidang
mandibula dan diproyeksikan ke Nasion sebagai tangen garis
|
12
|
Artikulare
(Ar)
|
Titik
perpotongan margin ramus dan margin terluar basis kranii
|
13
|
Porion (Po)
|
Titik paling
superior dari meatus akustikus eksternus atau aspek superior dari metal ring
sefalostat
|
14
|
Basion (Ba)
|
Titik paling
inferior posterior dari tulang oksipitalyang berhubungan dengan margin
anterior foramen magnum
|
15
|
Posterior
nasal spine (PNS)
|
Ujung
posterior dari spina dan tulang palatina
|
Landmark
jaringan keras
·
Titik pada jaringan lunak
No
|
Titik
jaringan lunak
|
Pengertian
|
-
|
Glabella (G)
|
Titik paling
prominent di midsagital plane pada dahi
|
-
|
Pronasal (Pr)
|
Titik paling
prominent dari ujung hidung
|
-
|
Labrale superius (Ls)
|
Ttiik paling median
di margin teratas bibir atas
|
-
|
Labrale inferius (Li)
|
Titik paling median
di margin teratas bibir bawah
|
-
|
Soft tissue pogonion
(Pog)
|
Titik paling
prominent pada kontur jaringan lunak dagu.
|
Landmark
jaringan lunak
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
·
Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi
geligi pada maksila dan mandibula, yang
terjadi selama pergerakan mandibula dan terakhir
dengan kontak penuh dari gigi geligi pada kedua rahang.
·
Maloklusi dihubungkan dengan kurang
idealnya bentuk gigi geligi secara keseluruhan dalam keadaan oklusi sentrik.
·
Berdasarkan
hubungan antara molar permanen pertama maksila dan mandibula, Angle
mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga klas, yaitu Klas I, Klas II, dan
Klas III.
·
Sefalometri adalah analisis dan pengukuran
yang dibuat pada cephalogram. Sefalometri terbagi dua, yaitu sefalometri
lateral dan sefalometri frontal.
DAFTAR PUSTAKA
1.
MaryBeth Balogh,
Margaret J.F. Dental Embryology,
Histology, and Anatomy. 2nd Ed. USA:Elsevier. 2006. P. 336
4.
Bhalajhi
Sundaresa Iyyer. Orthodontics the Art and Science.
3rd Ed. New
Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2006. P. 59-62
5.
Bhalajhi
Sundaresa Iyyer. Orthodontics the Art and Science.
3rd Ed. New
Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2006.
6.
Bhalajhi
Sundaresa Iyyer. Orthodontics The Art and
Science. 3rd Ed. New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2006.
P. 121-3
7.
Ralph E. McDonald. Dentistry For The Child and Adolescent. St. Louis: Mosby. P. 613-4
8.
Bab 2 Tinjauan Pustaka. Universitas
Sumatera Utara.pdf. P. 5-16
9.
Bhalajhi
Sundaresa Iyyer. Orthodontics The Art and
Science. 3rd Ed. New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2006.
P.69-78
10.
Hoxter, E.A. TeknikPemotretan Rontgen. Jakarta : EGC.
1978. P. 129
11. Ralph
E. McDonald. Dentistry For The Child and
Adolescent. St. Louis: Mosby. P.526-530