Reaksi Lichenoid
Reaksi lichenoid
adalah sekelompok lesi heterogen pada mukosa oral yang menunjukkan kesamaan klinis dan
histopatologis dengan lichen planus, namun memiliki penyebab yang berbeda.1
Penyebab reaksi
lichenoid ada beberapa macam, seperti hipersensitivitas terhadap material
restorasi dental, karena obat-obatan, atau manifestasi oral dari penyakit graft
versus host.2
a.
Reaksi lichenoid
karena kontak.
Reaksi
lichenoid dipertimbangkan sebagai reaksi hipersensitivitas tertunda terhadap
unsure yang berasal dari dental material. Sebagian besar pasien, saat dilakukan
tes alergi, menunjukkan hasil positif terhadap merkuri, yang mendukung bahwa
reaksi lichenoid ini adalah reaksi alergi. Selain merkuri, unsure amalgam lain
juga dapat menyebabkan reaksi lichenoid.
·
Etiologi dan
Patogenesis.
Merkuri
tidak dapat dikenali oleh sistem imun (sel T reseptor), yang diekspresikan oleh
limfosit T, berbatas pada identifikasi peptida. Ion merkori sangat reaktif dan
akan mengikat self-protein di epitel oral, yang akan menginduksi perubahan
transformasi protein. Pasangan merkuri-protein akan disangka bukan diri
sendiri, dan diikuti pinocytosis oleh APC, seperti sel langerhan di epitel
oral, sel ini akan menurunkan kompleks protein ke oligopeptida. APC yang
teraktivasi akan matang melalui migrasi ke nodus limfe regional dan mulai
mengekpresikan peptida yang mengandung merkuri bersama dengan molekul Klas II
pada permukaan sel. Proses pengenalan antigen dipertimbangkan terbatas pada
molekuk Klas II. Di nodus limfe, interaksi antara penggabungan molekul Klas II
dan peptida mengandung merkuri di APC dan TCR diekspresikan pada limfosit T
antigen-spesifik akan terlihat. Interaksi ini dikenal sebagai sinyal awal
proses antigen-presenting. Sinyal kedua terdiri dari interaksi selular lebih
lanjut.
Ketika
mukosa oral dari individu sensitif terkena merkuri, sel Langerhan di epitel
oral mampu mengenal peptida-merkuri ke limfosit T perifer dengan TCR yang
cocok. Interaksi antara sel akan menyebabkan produksi sitokin, yang akan
menyebabkan aktifnya sel inflamasi untuk menjaga respon imun lokal di mukosa
oral yang terkana merkuri, dan pada akhirnya juga menyebabkan penyembuhan
ketika merkuri dihilangkan.
·
Gambaran Klinis
Secara
klinis menunjukkan pola reaksi yang sama dengan lichen planus, yaitu reticulum,
papula, plak, eritema, dan ulcer. Perbedaan lichen planus dengan reaksi
lichenoid karena kontak adalah pada perluasan lesi. Kebanyakan reaksi lichenoid
ini terdapat pada area yang berkontak dengan dental material seperti mukosa
bukal dan tepi lidah. Lesi sangat jarang ada di gingival, palatum, dasar mulut,
atau dorsal lidah. Kebanyakan reaksi lichenoid ini asimtomatik, tapi ketika ada
lesi eritema dan ulcer, pasien merasakan ketidaknyamanan dari makanan panas dan
pedas.
Reaksi
lichenoid yang berkontak dengan komposit juga telah dilihat pada sisi mukosa
bibir atas dan bawah. Kebanyakan tipe reaksi lichenoid ini sembuh dengan
klorheksidin.
·
Perawatan
Penggantian
dental material yang berkontak dengan reaksi lichenoid akan menyembuhkan 90%
kasus. Kebanyakan lesi sembuh dalam 1-2 bulan. Tidak perlu mengganti restorasi
yang tidak berkontak langsung dengan reaksi lichenoid ini. Penyembuhan tidak
bergantung pada tipe dental material yang digunakan untuk penggantian.
b.
Reaksi lichenoid
diinduksi obat-obatan.
·
Etiologi dan
patogenesis.
Mekanisme
dibalik reaksi lichenoid diinduksi obat-obatan (DILR) masih belum terlalu
dimengerti. Karena gambaran klinis dan histopatologinya menunjukkan tampilan
reaksi hipersensitivitas tertunda, maka dihipotesiskan bahwa obat dan
metabolitnya dengan kapasitas untuk berperan sebagai hapten memicu reaksi
lichenoid. Penisilin, emas, dan sulfonamide adalah contoh obat yang berhubungan
dengan perkembangan DILR. Penisilin dan emas dapat mengikat langsung
self-protein, yang akan dikenalkan oleh APC dan dikanali sebagai benda asing
oleh limfosit T spesifik, mirip reaksi hipersensitivitas yang tertunda. Obat
seperti sulfonamide menghapten self-protein dengan tidak langsung, melalui
formasi metabolit raktif, yang kan mengikat protein yang ada di mukosa oral.
Telah disimpulkan bahwasanya DILR dapat terjadi karena metabolisme obat yang
rendah karena variasi genetic sitokrom mayor enzim P-450.
·
Gambaran klinis.
DILR
biasanya unilateral dan tampak pola reaksi ulser. Karakteristik ini tidak
konsisten dan tidak berguna dalam membedakan lichen planus atau DILR. Karenanya
diperlukan anamnesis untuk menegakkan diagnosis.
·
Perawatan.
DILR
biasanya tidak terlihat berhubungan dengan reaksi parah mengancam nyawa seperti
toxic epidermal necrolysis. Penghentian obat dan perawatan gejala dengan
steroid topical biasanya cukup. Pasien harus diedukasi dengan baik tentang obat
tersebut untuk mencegah DILR kedepannya.
c.
Reaksi lichenoid
karena penyakit graft versus host.
·
Etiologi dan
patogenesis.
Penyebab
utama reaksi lichenoid karena penyakit graft versus host (GVHD) adalah
transplantasi sel allogeneic hematopoietic, walau transplantasi autologus juga
dapat menyebabkan GVHD. Pada donor yang kurang cocok, sel yang dicangkok akan
mengetahui bahwa mereka tidak berada pada lingkungan asal mereka. Saat itu
terjadi, sel ini mulai melawan apa yang disangka mereka benda asing. Hasil dari
perlawanan ini adalah terjadinya penyakit graft versus host.3
·
Gambaran klinis.
Terdapat
pola lesi yang sama seperti pada pasien lichen planus, yaitu reticulum,
eritema, dan ulcer. Namun reaksi lichenoid yang berhubungan dengan GVHD
biasaaanya berhubungan dengan keterlibatan mukosa oral yang lebih luas.
·
Perawatan.
Sebelum
terjadi penyakit ini, lebih baik kita lakukan pencegahan dengan menawarkan
donor yang cocok pada penerima. Berikan obat imunosupresif seperti siklosporin
dan prednison. Methotrexate juga dapat mengurangi prevalensi penyakit ini. Jika
GVHD tetap terjadi, dokter dapat meningkatkan dosis obat tersebut. Untuk ulcer
oral focal dapat diberikan steroid topical. Jika terdapat keluhan tidak nyaman
dari pasien, dapat diberikan anestesi topical.3
Sumber :
1.
G. Laskaris.
Pocket Atlas of Oral Disease. 2nd Ed. New York : Thieme. 2006. P.8
2.
Burket’s Oral
Medicine. 11th Ed. P.95-7, 99-100
3.
Neville. Oral
and Maxillofacial Pathology. 2nd Ed. Philadelphia : Saunders. 2002.
P.685-7
No comments:
Post a Comment
Dont be shy to just post a comment :)