Saturday, April 19, 2014

Reaksi Lichenoid



Reaksi Lichenoid
Reaksi lichenoid adalah sekelompok lesi heterogen pada mukosa oral  yang menunjukkan kesamaan klinis dan histopatologis dengan lichen planus, namun memiliki penyebab yang berbeda.1
Penyebab reaksi lichenoid ada beberapa macam, seperti hipersensitivitas terhadap material restorasi dental, karena obat-obatan, atau manifestasi oral dari penyakit graft versus host.2
a.         Reaksi lichenoid karena kontak.
Reaksi lichenoid dipertimbangkan sebagai reaksi hipersensitivitas tertunda terhadap unsure yang berasal dari dental material. Sebagian besar pasien, saat dilakukan tes alergi, menunjukkan hasil positif terhadap merkuri, yang mendukung bahwa reaksi lichenoid ini adalah reaksi alergi. Selain merkuri, unsure amalgam lain juga dapat menyebabkan reaksi lichenoid.
·      Etiologi dan Patogenesis.
Merkuri tidak dapat dikenali oleh sistem imun (sel T reseptor), yang diekspresikan oleh limfosit T, berbatas pada identifikasi peptida. Ion merkori sangat reaktif dan akan mengikat self-protein di epitel oral, yang akan menginduksi perubahan transformasi protein. Pasangan merkuri-protein akan disangka bukan diri sendiri, dan diikuti pinocytosis oleh APC, seperti sel langerhan di epitel oral, sel ini akan menurunkan kompleks protein ke oligopeptida. APC yang teraktivasi akan matang melalui migrasi ke nodus limfe regional dan mulai mengekpresikan peptida yang mengandung merkuri bersama dengan molekul Klas II pada permukaan sel. Proses pengenalan antigen dipertimbangkan terbatas pada molekuk Klas II. Di nodus limfe, interaksi antara penggabungan molekul Klas II dan peptida mengandung merkuri di APC dan TCR diekspresikan pada limfosit T antigen-spesifik akan terlihat. Interaksi ini dikenal sebagai sinyal awal proses antigen-presenting. Sinyal kedua terdiri dari interaksi selular lebih lanjut.
Ketika mukosa oral dari individu sensitif terkena merkuri, sel Langerhan di epitel oral mampu mengenal peptida-merkuri ke limfosit T perifer dengan TCR yang cocok. Interaksi antara sel akan menyebabkan produksi sitokin, yang akan menyebabkan aktifnya sel inflamasi untuk menjaga respon imun lokal di mukosa oral yang terkana merkuri, dan pada akhirnya juga menyebabkan penyembuhan ketika merkuri dihilangkan.
·      Gambaran Klinis
Secara klinis menunjukkan pola reaksi yang sama dengan lichen planus, yaitu reticulum, papula, plak, eritema, dan ulcer. Perbedaan lichen planus dengan reaksi lichenoid karena kontak adalah pada perluasan lesi. Kebanyakan reaksi lichenoid ini terdapat pada area yang berkontak dengan dental material seperti mukosa bukal dan tepi lidah. Lesi sangat jarang ada di gingival, palatum, dasar mulut, atau dorsal lidah. Kebanyakan reaksi lichenoid ini asimtomatik, tapi ketika ada lesi eritema dan ulcer, pasien merasakan ketidaknyamanan dari makanan panas dan pedas.
Reaksi lichenoid yang berkontak dengan komposit juga telah dilihat pada sisi mukosa bibir atas dan bawah. Kebanyakan tipe reaksi lichenoid ini sembuh dengan klorheksidin.
·      Perawatan
Penggantian dental material yang berkontak dengan reaksi lichenoid akan menyembuhkan 90% kasus. Kebanyakan lesi sembuh dalam 1-2 bulan. Tidak perlu mengganti restorasi yang tidak berkontak langsung dengan reaksi lichenoid ini. Penyembuhan tidak bergantung pada tipe dental material yang digunakan untuk penggantian.
b.         Reaksi lichenoid diinduksi obat-obatan.
·      Etiologi dan patogenesis.
Mekanisme dibalik reaksi lichenoid diinduksi obat-obatan (DILR) masih belum terlalu dimengerti. Karena gambaran klinis dan histopatologinya menunjukkan tampilan reaksi hipersensitivitas tertunda, maka dihipotesiskan bahwa obat dan metabolitnya dengan kapasitas untuk berperan sebagai hapten memicu reaksi lichenoid. Penisilin, emas, dan sulfonamide adalah contoh obat yang berhubungan dengan perkembangan DILR. Penisilin dan emas dapat mengikat langsung self-protein, yang akan dikenalkan oleh APC dan dikanali sebagai benda asing oleh limfosit T spesifik, mirip reaksi hipersensitivitas yang tertunda. Obat seperti sulfonamide menghapten self-protein dengan tidak langsung, melalui formasi metabolit raktif, yang kan mengikat protein yang ada di mukosa oral. Telah disimpulkan bahwasanya DILR dapat terjadi karena metabolisme obat yang rendah karena variasi genetic sitokrom mayor enzim P-450.
·      Gambaran klinis.
DILR biasanya unilateral dan tampak pola reaksi ulser. Karakteristik ini tidak konsisten dan tidak berguna dalam membedakan lichen planus atau DILR. Karenanya diperlukan anamnesis untuk menegakkan diagnosis.
·      Perawatan.
DILR biasanya tidak terlihat berhubungan dengan reaksi parah mengancam nyawa seperti toxic epidermal necrolysis. Penghentian obat dan perawatan gejala dengan steroid topical biasanya cukup. Pasien harus diedukasi dengan baik tentang obat tersebut untuk mencegah DILR kedepannya.
c.         Reaksi lichenoid karena penyakit graft versus host.
·      Etiologi dan patogenesis.
Penyebab utama reaksi lichenoid karena penyakit graft versus host (GVHD) adalah transplantasi sel allogeneic hematopoietic, walau transplantasi autologus juga dapat menyebabkan GVHD. Pada donor yang kurang cocok, sel yang dicangkok akan mengetahui bahwa mereka tidak berada pada lingkungan asal mereka. Saat itu terjadi, sel ini mulai melawan apa yang disangka mereka benda asing. Hasil dari perlawanan ini adalah terjadinya penyakit graft versus host.3
·      Gambaran klinis.
Terdapat pola lesi yang sama seperti pada pasien lichen planus, yaitu reticulum, eritema, dan ulcer. Namun reaksi lichenoid yang berhubungan dengan GVHD biasaaanya berhubungan dengan keterlibatan mukosa oral yang lebih luas.
·      Perawatan.
Sebelum terjadi penyakit ini, lebih baik kita lakukan pencegahan dengan menawarkan donor yang cocok pada penerima. Berikan obat imunosupresif seperti siklosporin dan prednison. Methotrexate juga dapat mengurangi prevalensi penyakit ini. Jika GVHD tetap terjadi, dokter dapat meningkatkan dosis obat tersebut. Untuk ulcer oral focal dapat diberikan steroid topical. Jika terdapat keluhan tidak nyaman dari pasien, dapat diberikan anestesi topical.3

Sumber :
1.      G. Laskaris. Pocket Atlas of Oral Disease. 2nd Ed. New York : Thieme. 2006. P.8
2.      Burket’s Oral Medicine. 11th Ed. P.95-7, 99-100
3.      Neville. Oral and Maxillofacial Pathology. 2nd Ed. Philadelphia : Saunders. 2002. P.685-7