Monday, May 27, 2013

Teori Proses Penuaan



   1.      Teori genetik.
a.       Teori error.
Teori ini menyatakan bahwa penuaan berhubungan dengan akumulasi progresif kesalahan metabolik yang terjadi pada makromolekul. Pada penuaan, DNA, RNA dan sintesis protein dikatakan saling berhubungan. Metabolisme seluler, interaksi seluler, jaringan dan banyak fungsi hidup bergantung pada kualitas protein, karenanya, akumulasi yang cukup dari kesalahan produksi makromolekul ini dapat mengganggu fungsi kerja sel.
b.      Mutasi somatik.
Asumsi dasar hipotesis ini adalah kehadiran mutasi spontan pada garis pertumbuhan sel , yang dapat terjadi juga pada sel somatik. Karena mutasi menyebabkan beberapa perubahan pada fungsi sel dan jaringan, sejumlah sel cukup banyak yang membawa mutasi dapat mempengaruhi fungsi jaringan atau organ.
c.       Redundancies.
Medvedev menyatakan bahwa penuaan berasal dari kehilangan informasi genetik dari beberapa genom yang unik dan tidak berulang. Pengulangan beberapa genom, jumlah yang ditahan, dinyatakan tidak hanya sebagai simpanan evalusioner, tetapi juga simpanan untuk mengurangi kadar penuaan.
d.      Penuaan yang diprogram secara genetik.
Teori ini konsisten dengan probabilitas alami proses penuaan dan dapat mengakomodasi komponen random. Pada teori ini, proses menua dan proses yang meliputi perkembangan organism disamakan, dimana penuaan adalah kelanjutan perkembangan.
e.       Teori disposable soma.
Dalam teori ini, fungsi sel somatik organisme, soma, adalah untuk menyediakan kendaraan garis tumbuh agar menjamin reproduksi. Terjadi perbedaan antara terlalu banyak atau terlalu sedikit sumber ke soma. Sumber yang terlalu sedikit tidak akan mengizinkan organisme untuk bertahan dalam waktu yang cukup untuk menjamin potensial reproduktif. Sumber yang terlalu banyak akan dengan mudah  bertambah dan yang telah dicurahkan ke garis pertumbuhan yang menghasilkan penurunan potensial reproduktif.
   2.      Teori non-genetik.
a.       Teori imunologi.
Dengan terjadinya penuaan, sistem imun tidak dapat membedakan molekul normal dan molekul yang tidak normal dengan baik, dan sel abnormal dapat berproliferasi dan diambil alih oleh reaksi autoimun. Pada penuaan sistem imun seiring dengan hubungan usia kehilangan kemampuan untuk respon imun disebut immunosenescence.
b.      Teori radikal bebas.
Teori ini menyatakan bahwa radikal bebas yang berkombinasi dengan molekul-molekul penting akan menyebabkan kerusakan pada DNA dan struktur seluler lain. Reaksi ini berkontribusi terhadap penuaan dan penyakit yang berhubungan dengan usia.
c.       Teori cross-linking.
Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan oleh molekul-molekul yang tidak dapat bermobilisasi secara irreversible sebagai fisiologis. Hal ini dipercaya dapat dihasilkan perubahan dan menyebabkan penuaan.
d.      Teori metabolik.
Peningkatan rata-rata metabolik dapat menyebabkan penggunaan yang lebih besar pada organisme yang menyebabkan jangka hidup yang lebih singkat.1



Tuesday, May 21, 2013

Oral Habits


Mouth Breathing

Mouth breathing (bernafas dari mulut) telah menjadi salah satu faktor etiologi terjadinya maloklusi. Mode pernapasan mempengaruhi bentuk rahang, lidah dan dapat juga mempengaruhi kepala. Karenanya, bernafas dari mulut dapat menyebabkan berubahnya postur rahang dan lidah yang berlanjut ke maloklusi. Kebanyakan orang normal melakukan mouth breathing ketika mereka melakukan kegiatan fisik seperti ketika berolahraga atau ketika melakukan aktivitas yang berat.
Klasifikasi Orang yang Bernafas dari Mulut
Orang yang bernafas dari mulut dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu:
   a.       Obstruktif.
Adanya hambatan sebagian atau keseluruhan pada nasal dapat menyebabkan orang untuk bernafas melalui mulut. Berikut ini merupakan beberapa penyebab terjadinya hambatan pada nasal :
·      Nasal septum yang menyimpang.
·      Nasal polyp.
·      Inflamasi kronis pada mukosa nasal.
·      Tumor jinak lokalisata.
·      Reaksi alergi dari mukosa nasal.
·      Adenoid yang menghambat.
·      Pembesaran congenital dari  nasal turbinates.
   b.      Habitual.
Orang yang bernafas dari mulut karena kebiasaan adalah orang yang tetap bernafas melalui mulut ketika hambatan pada nasalnya telah dihilangkan. Karenanya, bernafas dari mulut menjadi kebiasaan yang dilakukan secara tidak sadar.
   c.       Anatomi.
Orang yang bernafas dari mulut karena anatomi adalah orang yang morfologi bibirnya tidak dapat menutup sepenuhnya, contohnya adalah pasien yang memiliki bibir atas yang pendek.
Dampak Mouth Breathing
Kelainan orthodontik yang terjadi pada anak yang bernafas melalui mulut adalah:
1.        Maloklusi Klas II divisi 1. Anak yang bernafas melalui mulut memiliki bibir pendek sehingga diperlukan usaha otot yang besar untuk mendapatkan penutupan bibir, maka diperoleh penutupan lidah-bibir bawah dan ini terdapat hubungan Klas II divisi 1. Akibat dorongan lidah ketika pasien mencoba membasahi bibir yang kering mengakibatkan mahkota insicivus terdorong ke labial.
2.        Anterior open bite. Tanimoto dkk. menyatakan bahwa mouth breathing dapat mengakibatkan open bite dengan susunan gigi maksila yang sempit. Penutupan bibir pada anak yang bernafas melalui mulut yaitu penutupan lidah-bibir bawah, di mana ujung lidah berada pada incisal insicivus mandibula yang mencegah erupsi lebih lanjut dan menghalangi perkembangan vertical dari segmen insicivus tersebut. Hal ini yang menyebabkan anterior open bite pada anak yang bernafas melalui mulut.
3.        Maksila yang sempit dengan palatum tinggi. Perubahan pola pernapasan dapat mengubah ekuilibrium tekanan pada rahang dan gigi dan mempengaruhi pertumbuhan rahang dan posisi gigi. Lidah tergantung di antara lengkung maksila dan mandibula menyebabkan konstriksi segmen bukal sehingga menyebabkan bentuk v maksila dan palatum yang tinggi. Hal ini dikarenakan kurangnya stimulasi muskulus yang normal dari lidah dan tekanan yang meningkat pada kaninus dan area molar pertama akibat tegangnya muskulus orbicularis oris dan bucinator, segmen bukal maksila tidak berkembang dan memberikan bentuk v pada maksila dan palatum yang tinggi dan pasien biasanya mengalami cross bite posterior.

Nail Biting

Menggigit kuku tidak menyebabkan maloklusi besar, namun menyebabkan ketidakteraturan minor dari gigi seperti rotasi, aus pada incisal edge, dan crowding.
Dampak dari Nail Biting
Menggigit kuku dapat menyebabkan dampak seperti berikut”
1.      Rotasi gigi.
2.      Atrisi pada ujung incisal gigi.
3.      Protrusi incisivus maksila.

Lip Sucking dan Lip Biting

Lip biting dan lip sucking terkadang terjadi setelah pemberhentian paksa thumb atau finger sucking. Menggigit bibir paling sering melibatkan bibir bawah yang diletakkan ke dalam dan di berikan tekanan pada  permukaan lingual dari anterior maksila.
Kebiasaan ini dapat dicegah menggunakan lip bumpers yang tidak hanya mencegah bibir digigit tapi juga mengubah inklinasi aksial dari gigi anterior yang dikarenakan perilaku tak terkendali dari lidah.
Dampak dari Lip Sucking Lip dan Biting.
Pasien yang memiliki kebiasaan menggigit atau menghisap bibir dapat menunjukkan tampilan seperti berikut:
  1.      Anterior atas yang proklinasi dan anterior bawah yang retroklinasi.
  2.      Bibir bawah yang hipertrofi dan besar.
  3.      Bibir pecah-pecah.

Sumber : S.I Bhalajhi. Orthodontics The Art and Science. 3rd Ed. New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2004. P.104-8



Tuesday, May 14, 2013

Teknik Pembuatan Space Maintainer


A.    Band and Loop Space Maintainer
1.      Pilih band atau stainless steel crown yang tepat. Gunakan tongue blade/band seater untuk menempatkan band. Gunakan penekan band untuk mengadaptasikan dan burnish band. Band/crown yang terletak dengan baik diperlukan untuk mencegah dekalsifikasi/karies berulang.
2.      Gunakan alginat, cetak rahang pasien.
3.      Tuangkan stone cast ke cetakan alginat. Dengan hati-hati, keluarkan stone cast dari cetakan tersebut.
4.      Gunakan pliers no.139 untuk membengkokkan kawat menjadi loop. Loop yang sudah selesai sebaiknya berada pada sepertiga tengah band/crown, dan berada diatas jaringan lunak. Sisakan sedikit kawat pada bagian distal untuk membantu soldering.
5.      Elektrosolder kawat ke band.
6.      Lepaskan cetakan dari alat. Haluskan dan polish alat tersebut.
7.      Cobakan alat. Cek oklusi untuk memastikan kawat/solder tidak mengenai jaringan lunak.
8.      Semestasi alat, semen yang berlebih kemudian dibuang.
9.      Periodic-recall untuk melihat apakah gigi pengganti sudah erupsi, apakah alat megenai jaringan lunak, atau apakah alat berfungsi sebagai mana mestinya.
     B.     Distal Shoe Space Maintainer
1.      Persiapkan dm1 untuk stainless steel crown, kemudian adaptasikan stainless steel crown yang pas.
2.      Ambil bar material dan pas kan ke permukaan distal stainless steel crown. Elektrosolder bar dan crown, kemudian haluskan dan polish dengan rag wheel dan pumis, kemudian rag wheel dan gold rouge.
3.      Dari perhitungan klinis atau radiograf, ukur jarak dari permukaan distal dm1 ke permukaan mesial molar pertama. Tandai ukuran ini pada bar material, kemudian bengkokkan bar material tersebut.
4.      Letakkan alat pada tempatnya, dan atur dimana dibutuhkan. Ambil foto radiograf untuk melihat apakah letak bar sudah pada tempatnya.

Sumber : Richard J. Mathewson, dkk. Fundamental of Pediatric Dentistry. 3rd Ed. Missouri : Quintessence Publishing. 1995. P. 328-337

Monday, May 6, 2013

Maloklusi dan Pertumbuhan serta Perkembangan Orokraniofacial


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Maloklusi adalah bentuk hubungan rahang atas dan rahang bawah yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk yang normal. Maloklusi dapat disebabkan karena tidak adanya keseimbangan dento-fasial, yang kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : keturunan, lingkungan, pertumbuhan dan perkembangan, konstitusional, fungsional, dan keadaan patologis.
Maloklusi yang disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan disebabkan karena adanya defek pada pertumbuhan dan perkembangan orokraniofacial. Pertumbuhan dan perkembangan orokraniofacial dapat dibagi menjadi fase pre-natal dan fase post-natal, dimana fase pre-natal terjadi intra uterus dan fase post-natal terjadi ketika anak telah lahir.

1.2     Batasan Topik
A.    Oklusi
1.      Definisi Oklusi
2.      Macam-Macam Oklusi
3.      Pertumbuhan dan Perkembangan Oklusi
a.       Gigi Sulung
b.      Gigi Campuran
c.       Gigi Permanen
4.      Kunci Oklusi Normal Andrew
B.     Maloklusi
1.      Definisi Maloklusi
2.      Etiologi Maloklusi
3.      Klasifikasi Maloklusi
C.     Orokraniofacial
1.      Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Orokraniofacial Pasca Natal
2.      Macam-Macam Bentuk Profil Wajah
3.      Cara Mengukur Profil Wajah
D.    Radiologi
1.      Macam-Macam Radiologi
a.       Intraoral
b.      Sefalometri
·      Definisi Sefalometri
·      Macam-Macam Sefalometri
·      Kegunaan Sefalometri
·      Teknik Pemeriksaan Sefalometri
·      Landmark Sefalometri



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Oklusi
2.1.1  Definisi Oklusi
Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada maksila dan mandibula,  yang terjadi selama pergerakan mandibula dan terakhir dengan kontak penuh dari gigi geligi pada kedua rahang. Oklusi terjadi karena adanya interaksi antara dental sistem1.

2.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan pada Gigi Sulung, Campuran dan Permanen.
Pertumbuhan dan Perkembangan gigi –geligi susu
Seluruh gigi geligi susu akan lengkap erupsi pada anak berumur lebih kurang 2,5 tahun. Pada periode ini lengkung gigi pada umumnya berbentuk oval dengan gigitan dalam ( Deep bite ) pada overbite dan overjet dan dijumpai adanya “ generalized interdental spacing ( celah –celah diantara gigi- geligi ). Hal ini terjadi karena adanya pertumbuhan tulang rahang kearah transversal untuk mempersiapkan tempat gigi –gigi permanen yang kan tumbuh celah yang terdapat dimenssial cainus atas dan disebelah distal caninus bawah disebut “primate space “ . Primate space ini diperlukan pada “ early mesial shift “.
Adanya celah –celah ini memberi kemungkinan gigi-gigi permanen yang akan erupsi mempunyai cukup tempat, sebaiknya bila tidak ada memberi indikasi kemungkinan terjadi gigi berjejal ( crowding ).

Hubungan molar kedua dalam arah sagital dapat :
1.    Berakhir pada satu garis terminal ( flush terminal plane ), yang merupakan garis vertikal disebelah distal molar kedua.
2.    Molar kedua mandibula letaknya lebih kedistal dari molar kedua maksila (distal step ).
3.    Molar kedua mandibula lebih kearah mesial molar kedua maksila ( mesial step )

Perkembangan Oklusi gigi- geligi permanen. Foster ( 1982 ) membagi dalam tiga tahap perkembangan :
1. Tahap erupsi molar pertama dan incisivi permanen.
Terjadi penggantian gigi inncisivi dan penambahan molar pertama permanen . Pada umur 6,5 tahun ketika incisivus sentral atas erupsi akan terlihat space pada garis median prosesus alveolaris sehingga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis sebagai suatu keadaan frenulum yang abnormal, keadaan ini disebut dengan istilah “ Ugly duckling stage “.
Kadang –kadang incisiv permanen terlihat crowding pada saat erupsi dan incisive lateral berhimpitan ( overlap ) dengan gigi caninus susu. Keadaan ini bisa diatasi bila terdapat leeway space. Leeway space adalah perbedaan ruangan antara lebar mesiodistal gigi caninus, molar pertama dan kedua susu dengan caninus premolar pertama dan kedua permanen.
Hubungan distal molar kedua susu atas dan bawah mempengaruhi hubungan molar pertama permanen, molar pertama permanen penting peranannya pada tinggi vertikal rahang selama periode penggantian gigi susu menjadi gigi permanen . Pada umur 8 tahun incisivi dan molar pertama permanen telah erupsi. Apabila incivisi atas lebih dulu erupsi dari yang bawah, dapat menyebabkan terjadinya gigitan dalam ( deep overbite ). Dengan adanya pertumbuhan gigitan dalam yang terjadi dapat terkoreksi dengan occlusal adjustment yang terjadi kemudian.
2. Tahap erupsi caninus, premolar dan molar kedua.
Pada tahap ini bila molar susu bawah sudah diganti oleh premolar permanen, sedangkan molar susu atas belum, maka akan terdapat penambahan besar overbite dan bila sebaiknya maka kontak gigi terlihat edge.
3. Tahap erupsi molar ketiga.
Penyesuaian oklusi ( occusal adjustment )
Menurut Salzmann ( 1966 ) terdapat 3 mekanisme yang berbeda pada penyesuaian oklusi normal gigi susu keperiode gigi bercampur sampai tercapai stabilisasi pada periode gigi permanen :
  • Jika bidang vertikal dari permukaan distal molar kedua susu atas terletak distal molar kedua susu bawah maka molar prtama permanen akan menempati sesuai dengan oklusi pada gigi susu.
  • Jika terdapat primate space dan bidang vertikal molar kedua susu segaris, maka terjadi oklusi normal pada molar pertama permanen, karena adanya pergeseran molar susu kemesial sehingga ruangan tersebut tertutup.
  • Jika bidang vertikal sama dan molar pertama permanen hubungannya cusp, maka oklusi normal terjadi karena adanya pergeseran kemesial yang terjadi kemudian setelah molar kedua susu tanggal.
Periode diantara periode gigi susu dan gigi –gigi permanen disebut periode gigi-gigi bercampur. Menurut Moyers ( 1974 ) adalah merupakan periode dimana gigi susu dan permanen berada bersama-sama didalam mulut .
Gigi- geligi tetap yang adan dibagi atas dua kelompok :
·      Successional Teeth, gigi permanen yang menggantikan gigi susu.
·      Accesssional Teeth, gigi tetap yang erupsi diposterior dari gigi susu.
Dua aspek penting pada periode gigi – geligi bercampur adalah :
·      Penggunaan dental arch perimeter.
·      Penyesuaian perubahan oklusi yang terjadi selama pergantian gigi.2,3

2.1.3 Kunci Oklusi Normal Andrew
Oklusi adalah hubungan kontak gigi maksila dan mandibula ketika dalam posisi tertutup  penuh. Ketika oklusi berada dalam posisi sentrik yakni posisi ketika rahang tertutup dan otot-otot mengunyah berkontraksi, tiap gii disatu lengkung rahang beroklusi dengan dua gigi dirahang yang berlawanan kecuali untuk insisivus sentral rahang atas dan M3 rahang atas. Ketika gigi hilang dalam waktu yang lama, biasanya gigi tetangganya akan berusaha mengisi ruang edentulous. Dengan demikian kehilangan salah satu gigi mengganggu hubungan gigi berkontak dengan lengkung rahang yang berlawanan, hal ini bisa menyebabkan perubahan oklusi seluruh gigi.
Ketika gigi beroklusi normal disentrik oklusi, lengkung gigi maksila secara natural overhang ke lengkung gigi mandibula difasial yang disebut Overjet ( artinya overlap secara horizontal ). Apabila insisivus rahang atas overlap secara vertikal terhadap insisivus rahang bawah dikatakan Overbite.
Pada gigi desidui oklusi yang normal berupa adanya flush terminal plane, space anterior, primate space, hubungan oklusi kelas I ( gigi molar dan caninus ), rahang oval. Gigi desidui mulai erupsi ketika berumur 6 bulan dan akan lengkap ketika berumur 3 tahun. Gigi desidui mempunyai alignment dan oklusi yang normal segera setelah berumur 2 tahun, dengan akar-akar gigi terbentuk seluruhnya ketika berumur 3 tahun.
Oklusi normal pada gigi-gigi susu ketika berumur 3 tahun adalah :4
1.      Permukaan mesial pada insisivus sentral atas dan bawah berada pada satu garis median.
2.      Gigi insisivus sentral rahang atas beroklusi dengan insisivus sentral rahang bawah dan sepertiga mesial dari insisivus lateral rahang bawah.
3.      Gigi anterior bawah berkontak dengan gigi anterior atas pada bagian palatal diatas perbatasan edge insisal.
4.      Insisivus lateral atas beroklusi dengan bagian dua per tiga distal dari insisivus lateral bawah, dan slope mesial dari gigi caninus bawah.
5.      Gigi caninus atas beroklusi dengan slope distal gigi caninus bawah dan bagian sepertiga mesial gigi molar pertama bawah.
6.      Gigi molar pertama atas beroklusi dengan duapertiga distal gigi molar pertama bawah dan bagian mesial gigi molar kedua bawah.
7.      Bagian distal gigi molar kedua atas beroklusi dengan permukaan distal molar kedua bawah.
   Sedangkan oklusi normal pada gigi masa bercampur adalah leeway space (ketika gigi caninus dan molar diganti dengan gigi caninus dan premolar permanen), hubungan oklusi kelas I ( gigi caninus ketika molar pertama erupsi ), dan ketika erupsi gigi insisivus sentral permanen.

2.2 Maloklusi
2.2.1 Definisi Maloklusi
   Maloklusi dihubungkan dengan kurang idealnya bentuk gigi geligi secara keseluruhan dalam keadaan oklusi sentrik.5

2.2.2  Etiologi Maloklusi
Menurut Moyer‘s classification :5
1.    Heredity
-       Neuro muscular system.
-       Tulang.
-       Gigi.                    
-       Soft parts.
2.    Kerusakan saat perkembangan.
3.    Trauma.
-       Prenatal trauma dan luka lahir.
-       Paskanatal trauma.
4.    Physical Agents.
-       Premahature extraction dari gigi sulung.
-       Nature of food.
5.     Habbits.
-       Menghisap ibu jari dan jari.
-       Mendorong –dorong lidah.
-       Lip sucking dan menggit bibir.
-       Posture.
-       Menggit kuku.
-       Kebiasaan lain.
6.    Penyakit.
-       Penyakit disease.
-       Kelainan endokrin.
-       Penyakit lokal.
-       Penyakit nasoparyneal dan terggangu fungsi respiratory.
-       Penyakit gingiva dan periodontal.
-       Tumor.
-       Karies.
Menurut White and Gardines classification :5
1.    Abnormalities dental.
-       Anterior –posterior malrelation ship.
-       Vertical malrelationship.
-       Lateral malrelationship.
-       Perubahan ukuran antara gigi &dasar tulang.
-       Abnormal tongenital.
2.    Abnormal Pre eruption.
-       Abnormal posisi pada saat perkembangan gigi.
-       Missing teeth.
-       Supernumeraray teeth dan abnormal bentuk gigi.
-       Retensi yang panjang dari gigi desidui.
-       Pembesaran frenum labial.
-       Traumatic injury.
3.    Post eruption abnormalities.
-       Muscular.
-       Kuatnya muscle (otot).
-       Posisi istirahat dari musculature.
-       Kebiassan menghisap.
-       Abnormal pada jalan akhir.
-       Hilangnya prematur dari gigi desidui.
-       Ekstraksi dari gigi permanen.

Graber’s classification :5
Faktor general
1.    Heredity.
2.    Congenital.
3.    Lingkungan.
-       Prenatal.
-       Postnatal.
4.    Predisposing metabolic climate and disease.
-       Endokrin imbalance.
-       Metabolic disturbance.
-       Infection disease.
5.    Dietary problem.
6.    Abnormal pressure dan functional aberration.
-       Abnormal sucking.
-       Thumb and finger sucking.
-       Tongue thrust& tongue sucking.
-       Lip dan nail biting
-       Abnormal swallowing habits.
-       Speech defect.
-       Respiratory abnormalities.
-       Tonsil and adenoids.
-       Psychogenic tics dan bruxism.
-       Posture.
-       Trauma dan accidents.

Faktor Lokal
1.    Anomali jumlah.
-       Supernumerary teeth.
-       Missing teeth.
2.        Anomali ukuran gigi.
3.        Anomali bentuk.
4.        Abnormal frenum labial :mucosal barriers.
5.        Hilangnya premature gigi desidui.
6.        Perpanjangan retensi gigi sulung.
7.        Tertunda erupsi gigi permanen.
8.        Abnormal jalan erupsi.
9.        Ankylosis.
10.    Karies gigi.
11.    Restorasi yang tidak benar.

2.2.3 Klasifikasi Maloklusi
1.         Sistem Klasifikasi Angle.
Edward Angle memperkenalkan sistem klasifikasi maloklusi ini pada tahun 1899. Klasifikasi Angle ini masih digunakan dikarenakan kemudahan dalam penggunaannya.
Menurut Angle, kunci oklusi terletak pada molar permanen pertama maksila. Berdasarkan hubungan antara molar permanen pertama maksila dan mandibula, Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga klas, yaitu :
a.       Klas I
Klas I maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan adanya hubungan normal antar-lengkung rahang. Cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada groove buccal dari molar permanen pertama mandibula. Pasien dapat menunjukkan ketidakteraturan pada giginya, seperti crowding, spacing, rotasi, dan sebagainya. Maloklusi lain yang sering dikategorikan ke dalam Klas I adalah bimaxilary protusion dimana pasien menunjukkan hubungan molar Klas I yang normal namun gigi-geligi baik pada rahang atas maupun rahang bawah terletak lebih ke depan terhadap profil muka.
b.      Klas II
Klas II maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan hubungan molar dimana cusp disto-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada groove buccal molar permanen pertama mandibula.
Klas II, divisi 1.
Klas II divisi 1 dikarakteristikkan dengan proklinasi insisiv maksila dengan hasil meningkatnya overjet. Overbite yang dalam dapat terjadi pada region anterior. Tampilan karakteristik dari maloklusi ini adalah adanya aktivitas otot yang abnormal.
Klas II, divisi 2.
Seperti pada maloklusi divisi 1, divisi 2 juga menunjukkan hubungan molar Klas II. Tampilan klasik dari maloklusi ini adalah adanya insisiv sentral maksila yang berinklinasi ke lingual sehingga insisiv lateral yang lebih ke labial daripada insisiv sentral. Pasien menunjukkan overbite yang dalam pada anterior.
c.       Klas III
Maloklusi ini menunjukkan hubungan molar Klas III dengan cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada interdental antara molar pertama dan molar kedua mandibula.
True Class III
Maloklusi ini merupakan maloklusi skeletal Klas III yang dikarenakan genetic yang dapat disebabkan karena :
·      Mandibula yang sangat besar.
·      Mandibula yang terletak lebih ke depan.
·      Maksila yang lebih kecil daripada normal.
·      Maksila yang retroposisi.
·      Kombinasi penyebab diatas.
Pseudo Class III
Tipe maloklusi ini dihasilkan dengan pergerakan ke depan dari mandibula ketika rahang menutup, karenya maloklusi ini juga disebut dengan maloklusi ‘habitual’ Klas III. Beberapa penyebab terjadinya maloklusi Klas III adalah :
·      Adanya premature kontak yang menyebabkan mandibula bergerak ke depan.
·      Ketika terjadi kehilangan gigi desidui posterior dini, anak cenderung menggerakkan mandibula ke depan untuk mendapatkan kontak pada region anterior.
Klas III, subdivisi
Merupakan kondisi yang dikarakteristikkan dengan hubungan molar Klas III pada satu sisi dan hubungan molar Klas I di sisi lain.

2.         Modifikasi Dewey dari Klasifikasi Angle.
Dewey memperkenalkan modifikasi dari klasifikasi maloklusi Angle. Dewey membagi Klas I Angle ke dalam lima tipe, dan Klas III Angle ke dalam 3 tipe.
a.       Modifikasi Dewey Klas I.
Tipe 1 : maloklusi Klas I dengan gigi anterior yang crowded.
Tipe 2 : maloklusi Klas I dengan insisiv maksila yang protrusif.
Tipe 3 : maloklusi Klas I dengan anterior crossbite.
Tipe 4 : maloklusi Klas I dengan posterior crossbite.
Tipe 5 : maloklusi Klas I dengan molar permanen telah bergerak ke mesial.
b.      Modifikasi Dewey Klas III.
Tipe 1 : maloklusi Klas III, dengan rahang atas dan bawah yang jika dilihat secara terpisah terlihat normal. Namun, ketika rahang beroklusi pasien menunjukkan insisiv yang edge to edge, yang kemudian menyebabkan mandibula bergerak ke depan.
Tipe 2 : maloklusi Klas III, dengan insisiv mandibula crowded dan memiliki lingual relation terhadap insisiv maksila.
Tipe 3 : maloklusi Klas III, dengan insisiv maksila crowded dan crossbite dengan gigi anterior mandibula.

3.         Modifikasi Lischer dari Klasifikasi Angle.
Lischer memberikan istilah neutrocclusion, distocclusion, dan mesiocclusion pada Klas I, Klas II, dan Klas III Angle. Sebagai tambahan, Lischer juga memberikan beberapa istilah lain, yaitu :
Neutrocclusion : sama dengan maloklusi Klas I Angle.
Distocclusion : sama dengan maloklusi Klas II Angle.
Mesiocclusion : sama dengan maloklusi Klas III Angle.
Buccocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke buccal.
Linguocclusion : sekelompok gigi atau satu gigi yang terletak lebih ke lingual.
Supraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi diatas batas normal.
Infraocclusion : ketika satu gigi atau sekelompok gigi erupsi dibawah batas normal.
Mesioversion : lebih ke mesial daripada posisi normal.
Distoversion : lebih ke distal daripada posisi normal.
Transversion : transposisi dari dua gigi.
Axiversion : inklinasi aksial yang abnormal dari sebuah gigi.
Torsiversion : rotasi gigi pada sumbu panjang.

4.         Klasifikasi Bennet.
Norman Bennet mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan etiologinya.
Klas I : posisi abnormal satu gigi atau lebih dikarenakan faktor lokal.
Klas II : formasi abnormal baik satu maupun kedua rahang dikarenakan defek perkembangan pada tulang.
Klas III : hubungan abnormal antara lengkung rahang atas dan bawah, dan antar kedua rahang dengan kontur facial dan berhubungan dengan formasi abnorla dari kedua rahang.6

2.3 Orokraniofacial
2.3.1 Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Orokraniofacial Pasca Natal
Pertumbuhan Maksila
Pertumbuhan maksila dipengaruhi oleh pertumbuhan otak, pertumbuhan tulang cranial dan nasalseptal guidance, yang memberikan pengaruh signifikan terhadap pergerakan maju mundur maksila dari lahir hingga umur 7 tahun.     
Setelah umur 7 tahun hingga dewasa pengaruh-pengaruh tersebut berkurang secara drastis seiring pertumbuhan sutural dan pertumbuhan permukaan intramembranosa mengambil alih.
Pertumbuhan Mandibula
Pertumbuhan mandibula terjadi oleh proses remodeling tulang. Pertumbuhan panjang ukuran mandibula terjadi karena adanya bone deposition di permukaan posterior (ramus) dengan pengimbangan apsorption pada permukaan anterior. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan mandibula memanjang ke belakang.
Pertumbuhan lebar mandibula terjadi karena adanya bone deposition pada permukaan luar mandibula dan apsorbsi pada permukaan dalam. Walaupun mandibula merupakan single bone, namun mandibula merupakan sebuah skeletal unit yang masing-masing berhubungan dengan jaringan2 haus disekitar yang disebut functional matrics. Functional matrics merupakan penentu utama pertumbuhan skeletal unit
Bagian kanan dan kiri mandibula pada bayi yang baru lahir masih terpisah kemudian menyatu pada midline mental symphisis selama tahun tahun pertama. Lokasi utama pertumbuhan post natal mandibula adalah endochondral apposition pada tulang rawan condylar, dan intramembraneous apposition pada aspek posterior
Pada saat lahir, mandibula condylers tumbuh lebih secara horizontal sehingga tumbuh memanjang, sedangkan pada anak2 pertumbuhan vertikal sehingga pertumbuhan condylar meninggi. Pertumbuhan mandibula berlangsung hingga akhir masa remaja sekitar umur 20 tahun.5
2.3.2 Macam-Macam Bentuk Profil Wajah
Menurut Graber (1972) dikenal tiga tipe profil muka yaitu :6
- Cembung (convex) : Dua garis membentuk sudut cekung terhadap jaringan. Jenis profil ini terjadi sebagai akbat maksila prognati atau mandibula retrognati seperti yang terlihat dalam maloklusi kelas II ,divisi I.
- Lurus (straight )   : Dua garis membentuk garis lurus.    
 - Cekung (concave) : Dua garis membentuk sudut cembung terhadap jaringan. Tipe ini dikaitkan dengan mandibula prognati atau maksila retrognati seperti dalam kelas III maloklusi.
Berdasarkan bentuknya, tipe wajah pada manusia dibagi menjadi tiga, yaitu:7

a.    Dolichofacial (leptoprosopic)

Bentuk kepala dolichocephalic yang panjang dan oval membuat pertumbuhan wajah menjadi sempit, panjang, dan protrusif. Tipe wajah ini disebut dengan leptoprosopic.
Pada leptoprosopic, tulang hidung cenderung tinggi dan hidung terlihat lebih protrusif. Karena sangat protrusif, kadang-kadang hidung menjadi bengkok bahkan turun. Sudut lekukan dan turunnya hidung akan meningkat bila panjang hidung meningkat. Jadi, konveksivitas hidung lebih tinggi pada orang yang memiliki hidung panjang. Oleh karena bagian hidung dari tipe wajah leptoprosopic lebih protusif, glabela dan lingkaran tulang orbital bagian atas menjadi lebih sangat menonjol sedangkan tulang pipi menjadi terlihat kurang menonjol. Selain itu mata juga terlihat cekung.
                                                               Tipe Wajah Leptocrospic
Tipe wajah juga mempengaruhi bentuk lengkung rahang. Bentuk wajah yang sempit dan panjang akan menghasilkan lengkung maksila dan palatum yang panjang, sempit, dan dalam. Selain itu, mandibula dan bibir bawah cenderung menjadi retrusif sehingga profil wajah menjadi cembung. Tipe wajah ini sering dikaitkan dengan maloklusi kelas I.
b.    Brachifacial (euryprosopic)
Bentuk kepala brachicephalic yang bulat dan luas membuat pertumbuhan wajah menjadi lebih lebar dan agak protrusif. Tipe wajah ini disebut dengan euryprosopic.
Pada euryprosopic, hidung cenderung pendek dan ujung hidung sering naik sehingga lubang hidung sering terlihat. Tulang pipi yang lebih lebar, datar, dan kurang protusif membuat konfigurasi tulang pipi terlihat jelas berbentuk persegi. Bola mata juga lebih besar dan menonjol karena kavitas orbital yang dangkal. Karakter wajah seperti ini membuat tipe euryprosopic terlihat lebih menonjol dari pada leptoprosopic.
                                                                  Tipe wajah euryprosopic
Tipe wajah euryprosopic memiliki lengkung maksila dan palatum yang luas dan pendek. Selain itu, mandibula dan dagu cenderung lebih protrusif sehingga profil wajah menjadi lurus atau bahkan cekung. Tipe wajah ini sering dikaitkan dengan maloklusi kelas II divisi I.
c.    Mesofacial (Mesoprosopic)
Bentuk kepala mesocephalic merupakan bentuk kepala yang oval. Tipe wajah yang dihasilkan berukuran sedang sehingga bentuk hidung, dahi, tulang pipi, bola mata, dan lengkung rahang juga berukuran menengah. Tipe wajah ini sering dikaitkan dengan kelas II divisi II maloklusi.
           Tipe wajah mesoprosopic
2.3.3 Cara Mengukur Profil Wajah
Untuk menganalisis tipe wajah, ada beberapa titik yang harus ditentukan terlebih dahulu.  Titik-titik tersebut adalah :8
a. Na (Soft tissue nasion) atau jaringan lunak hidung, yaitu titik tengah dari pangkal hidung pada sutura nasofrontal, yang merupakan aspek paling cekung.
b. Zy (zygomaticum), yaitu titik paling pinggir pada setiap lengkung zygomaticum.
c. SN (subnasal), yaitu titik paling bawah dari hidung.
d. Me (soft tissue menton), yaitu titik paling bawah dari dagu.
e. Sto (stomion), yaitu titik pertemuan bibir atas dan bibir bawah dengan garis tengah wajah.
f. B (soft tissue B point), yaitu bagian paling cekung dari jaringan lunak dagu pada garis tengah.
 
         Titik-titik yang diperlukan dalam pengukuran tipe waja



Titik-titik yang diperlukan dalam pengukuran tipe wajah

Morfologi bentuk wajah pertama sekali diperkenalkan oleh Martin dan Saller pada tahun 1957 dengan cara mengukur facial index.

Nilai indeks :
Hypereuryprosopic : X - 78,9
Euryprosopic : 79,0 - 83,0
Mesoprosopic : 84,0 - 87,9
Leptoprosopic : 88,0 - 92,9
Hyperleptoprosopic : 93,0 - X

Sekarang pengukuran tipe wajah dapat dilakukan dengan menggunakan foto frontal dan foto lateral. Foto frontal merupakan foto wajah pasien yang diambil dari arah frontal, sedangkan foto lateral merupakan foto wajah pasien yang diambil dari arah lateral.
a.    Pengukuran Tipe Wajah dengan Menggunakan Foto Frontal
Pengukuran tipe wajah dengan menggunakan foto frontal dapat dilakukan dengan empat rumus, yaitu rumus facial index, upper facial index, lower facial index, dan chin index.
Ø  Facial Index
Facial index merupakan penentuan tipe wajah dengan mengukur tinggi wajah yang diukur dari nasion (hidung) ke menton (dagu) kemudian membaginya dengan jarak zygomaticum kanan-kiri. Setelah itu hasilnya dikali dengan 100. Garis-garis yang akan diukur dapat dilihat pada gambar.
Facial Index =
Hasil perhitungan facial index disesuaikan dengan ketentuan berikut:
  tipe wajah euryprosopic
♀ = 80 ± 4
♂ = 84 ± 4
  tipe wajah mesoprosopic
♀ = 86 ± 4
♂ = 88 ± 4
  tipe wajah leptoprosopic
♀ = 90 ± 4
♂ = 94 ± 4
Pengukuran Facial Index


Ø  Upper Facial Index
Upper facial index merupakan penentuan tipe wajah dengan mengukur tinggi wajah bagian atas yang diukur dari nasion ke stomion kemudian membaginya dengan jarak zygomaticum kanan-kiri. Setelah itu hasilnya dikali dengan 100. Garis-garis yang akan diukur dapat dilihat pada gambar.
Upper Facial Index =

Hasil perhitungan upper facial index, disesuaikan dengan ketentuan berikut:
·      tipe wajah euryprosopic
♀ = 49 ± 3
♂ = 50 ± 3
·      tipe wajah mesoprosopic
♀ = 53 ± 3
♂ = 54 ± 3
·      tipe wajah leptoprosopic
♀ = 57 ± 3
♂ = 58 ± 3

Pengukuran Upper Facial Index
Ø  Lower Facial Index
Lower facial index merupakan penentuan tipe wajah dengan mengukur tinggi wajah bagian bawah yang diukur dari subnasal ke menton kemudian membaginya dengan jarak zygomaticum kanan-kiri. Setelah itu hasilnya dikali dengan 100. Garis-garis yang akan diukur dapat dilihat pada gambar.
Lower Facial Index = panjang wajah bagian bawah (Sn-Me) /lebar wajah (Zy-Zy) x 100
Hasil perhitungan lower facial index, disesuaikan dengan ketentuan berikut:
  tipe wajah euryprosopic
♀ = 47 ± 4
♂ = 49 ± 4
  tipe wajah mesoprosopic
♀ = 52 ± 4
♂ = 54 ± 4
  tipe wajah leptoprosopic
♀ = 57 ± 4 
♂ = 59 ± 4
                                     Pengukuran Lower Facial Index
Ø  Chin Index
Chin index merupakan penentuan tipe wajah dengan mengukur tinggi dagu kemudian membaginya dengan jarak zygomaticum kanan-kiri. Setelah itu hasilnya dikali dengan 100. Garis-garis yang akan diukur dapat dilihat pada gambar.
Chin Index = Tinggi dagu (B’-Me) / lebar wajah (Zy-Zy) x 100
Hasil perhitungan chin index, disesuaikan dengan ketentuan berikut:
   tipe wajah euryprosopic
♀ = 19 ± 2
♂ = 19 ± 2
  tipe wajah mesoprosopic
♀ = 22 ± 2
♂ = 22 ± 2
  tipe wajah leptoprosopic
♀ = 25 ± 2
              ♂ = 25 ± 2
                                                                  Pengukuran Chin Index

b.    Pengukuran Tipe Wajah dengan Menggunakan Foto Lateral
Pengukuran tipe wajah dengan menggunakan foto lateral dapat dilakukan dengan rumus chin-face height index. Chin-face height index merupakan penentuan tipe wajah dengan mengukur tinggi dagu kemudian membaginya dengan tinggi wajah. Setelah itu hasilnya dikali dengan 100. Garis-garis yang akan diukur dapat dilihat pada gambar.
Chin-face Height Index = tinggi dagu (B’-Me) / tinggi wajah (Na-Me) x 100
Hasil perhitungan chin-face height index, disesuaikan dengan ketentuan berikut:
  tipe wajah euryprosopic
♀ = 23.5 ± 2
♂ = 22 ± 2
  tipe wajah mesoprosopic
♀ = 25,5 ± 2
♂ = 25 ± 2
  tipe wajah leptoprosopic
♀ = 27,5 ± 2
♂ = 27 ± 2
Pengukuran Chin-face height index
Walaupun sefalogram telah cukup memberikan data mengenai tulang kraniofasial, penentuan tipe wajah tetap penting walaupun tidak memberikan keterangan secara lengkap. Dengan menganalisis tipe wajah maka hubungan variasi bagian-bagian tulang wajah akan terlihat sehingga para klinisi lebih mudah untuk mengidentifikasi malrelasi.

2.4   Radiologi
Radiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan energy pengion dan bentuk energy lainnya (non pengion) dalam bidang diagnostik, imajing dan terapi.9
2.4.1 Intraoral
Teknik radiografi intra oral adalah pemeriksaan gigi dan jaringan sekitar secarara diografi dan filmnya ditempatkan di dalam mulut pasien.Untuk mendapatkan gambaran lengkap rongga mulut yang terdiri dari 32 gigi diperlukan kurang lebih 14 sampai 19 foto. Ada tiga pemeriksaan  radiografi intra oral yaitu: pemeriksaan periapikal, interproksimal, dan oklusal.
Teknik Rontgen Periapikal
Teknik ini digunakan untuk melihat keseluruhan mahkota serta akar gigi dan tulang pendukungnya. Ada dua teknik pemotretan yang digunakan untuk memperoleh foto periapikal yaitu teknik parallel dan bisektris, yang sering digunakan di RSGM adalah teknik bisektris.


Teknik Bite Wing
Teknik ini digunakan untuk melihat mahkota gigi rahang atas dan rahang bawah daerah anterior dan posterior sehingga dapat digunakan untuk melihat permukan gigi yang berdekatan dan puncak tulang alveolar.Teknik pemotretannya yaitu pasien dapat menggigit sayap dari film untuk stabilisasi film didalam mulut.
Teknik Rontgen Oklusal
Teknik ini digunakan untuk melihat area yang luas baik pada rahang atas maupun rahang bawah dalam satu film.Film yang digunakan adalah fillm oklusal.Teknik pemotretannya yaitu pasien diinstruksikan untuk mengoklusikan atau menggigit bagian dari film tersebut.10

2.4.2 Sefalometri
A.   Definisi Sefalometri
Sefalometri adalah analisis dan pengukuran yang dibuat pada cephalogram.
B.   Macam sefalometri
Macam-macam sefalometri :
·      Lateral yaitu menyediakan tampilan lateral.
·      Frontal yaitu menyediakan tampilan antero-posterior.
C.   Kegunaan Sefalometri
·         Membantu menegakkan diagnosis → dapat mempelajari struktur skeletal, dental, dan jaringan lunak dari regio kraniofasial.
·         Membantu klasifikasi abnormalitas skeletal dan dental, dan membantu menentukan tipe fasial dari pasien.
·         Membantu menentukan rencana perawatan.
·         Membantu evaluasi hasil dari perawatan.
·         Membantu memprediksi perubahan yang berhubungan dengan pertumbuhan untuk tindakan perawatan bedah.
·         Dapat menjadi alat bantu dalam penelitian yang berhubungan dengan regio kraniofasial.
D.   Teknik Pemeriksaan Sefalometri
Standarisasi membutuhkan alat headholder (chepahalostat) dan tube x-ray yang diletakkan 60 inch dari midsagital plane subjek dan jarak dari midsagital plane pasien ke film ± 7,5 inchi.
Pasien diletakkan dalam cephalostat, artinya bagian lateral disesuaikan dengan telinga pasien dan secara vertikal disesuaikan dengan nasal. Bagian nasalnya berperan saat operator menggerakkan kepala pasian supaya Frankfort Horizontal Planenya paralel dengan lantai.
a.    Lateral Head Film
Pasien diposisikan supaya bagian kiri pasien 8-10 inchi dari film, supaya membuat distorsi semakin kecil. Film harus diletakkan sedekat mungkin dengan pasien untuk meminimalisir efek pembesaran, memperbagus resolusi, dan memenuhi standarisasi teknik.
b.    Frontal (Postero-antero)
Pasien dihadapkan dengan film. Setelah kepala pasien diposisikan sehingga sinar x-ray melewati kepala ke tengah, film digerakkan hingga menyentuh hidung pasien. Karena radiasi dibutuhkan lebih banyak untuk mendapatkan gambaran ini, maka harus lebih banyak radiasinya dibandingkan yang lateral.
E.    Titik Landmark
Titik Referensi dalam sefalometri (Landmark).11
·         Titik jaringan keras
No.
Landmak
Pengertian
1
Sella turcica (S/sella)
Titik tengah dari fossa hipofiseal. Merupakan area ovoid dari tulang spenoid yang mengandung kelenjar pituitari
2
Nasion (N)
Sambungan eksternal dari sutura frontonasal di bidang median. Apabila sutura tidak terlihat, titik berada di cekungan terdalam os nasal dan os frontal.
3
Orbitale (O)
Titik paling inferior dari batas ekternal orbita.
4
Condylion (Cd)
Titik paling superior dari kepala artikular kondilus
5
Anterior nasal spine (ANS)
Proyeksi paling anterior pada maksila di bidang median
6
Titik A (Subspinale/A)
Titik terdalam kurvatur anterior maksila antara ANS dan alveolar crest
7
Titik B (submentale/B)
Titik paling posterior pada kurva terluar prosesus alveolaris mandibula antara alveolar crest dan dagu
8
Pogonion (Pg)
Titik paling anterior pada simfisis mandibula di mid sagital
9
Menton (M)
Titik paling inferior dari simfisis mandibula
10
Gnation (Gn)
Titik yang dibentuk dari perpotongan bidang fasial (N-Pg) dan bidang mandibula (Go-Me)
11
Gonion (Go)
Titik yang dibentuk dari perpotongan margin posterior ramus mandibula dan bidang mandibula dan diproyeksikan ke Nasion sebagai tangen garis
12
Artikulare (Ar)
Titik perpotongan margin ramus dan margin terluar basis kranii
13
Porion (Po)
Titik paling superior dari meatus akustikus eksternus atau aspek superior dari metal ring sefalostat
14
Basion (Ba)
Titik paling inferior posterior dari tulang oksipitalyang berhubungan dengan margin anterior foramen magnum
15
Posterior nasal spine (PNS)
Ujung posterior dari spina dan tulang palatina

Landmark jaringan keras

·         Titik pada jaringan lunak
No
Titik jaringan lunak
Pengertian

  1.  
Glabella (G)
Titik paling prominent di midsagital plane pada dahi

  1.  
Pronasal (Pr)
Titik paling prominent dari ujung hidung

  1.  
Labrale superius (Ls)
Ttiik paling median di margin teratas bibir atas

  1.  
Labrale inferius (Li)
Titik paling median di margin teratas bibir bawah

  1.  
Soft tissue pogonion (Pog)
Titik paling prominent pada kontur jaringan lunak dagu.
Landmark jaringan lunak


BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
·      Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada maksila dan mandibula,  yang terjadi selama pergerakan mandibula dan terakhir dengan kontak penuh dari gigi geligi pada kedua rahang.
·      Maloklusi dihubungkan dengan kurang idealnya bentuk gigi geligi secara keseluruhan dalam keadaan oklusi sentrik.
·      Berdasarkan hubungan antara molar permanen pertama maksila dan mandibula, Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga klas, yaitu Klas I, Klas II, dan Klas III.
·      Sefalometri adalah analisis dan pengukuran yang dibuat pada cephalogram. Sefalometri terbagi dua, yaitu sefalometri lateral dan sefalometri frontal.



DAFTAR PUSTAKA

1.        MaryBeth Balogh, Margaret J.F. Dental Embryology, Histology, and Anatomy. 2nd Ed. USA:Elsevier. 2006. P. 336
4.        Bhalajhi Sundaresa Iyyer. Orthodontics the Art and Science. 3rd Ed. New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2006. P. 59-62
5.        Bhalajhi Sundaresa Iyyer. Orthodontics the Art and Science. 3rd Ed. New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2006.
6.        Bhalajhi Sundaresa Iyyer. Orthodontics The Art and Science. 3rd Ed. New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2006. P. 121-3
7.        Ralph E. McDonald. Dentistry For The Child and Adolescent. St. Louis: Mosby. P. 613-4
8.        Bab 2 Tinjauan Pustaka. Universitas Sumatera Utara.pdf. P. 5-16
9.        Bhalajhi Sundaresa Iyyer. Orthodontics The Art and Science. 3rd Ed. New Delhi : Arya (MEDI) Publishing House. 2006. P.69-78
10.    Hoxter, E.A. TeknikPemotretan Rontgen. Jakarta : EGC. 1978. P. 129
11.    Ralph E. McDonald. Dentistry For The Child and Adolescent. St. Louis: Mosby. P.526-530